Saturday, December 16, 2006

SARIPATI KISAH ASHABUL KAHFI

Oleh : Syariful Hidayat

Ashabul kahfi merupakan sebuah cerita teladan yang disebutkan di dalam al-Quran pada surat al-Kahfi ayat 9 sampai dengan ayat 26 dari 110 jumlah ayatnya. Cerita ini mengkisahkan beberapa penghuni gua yang mengandung i’tibar dan pelajaran yang amat berguna bagi kehidupan manusia.

Cerita ini bermula dari sebuah kota, terletak di antara dataran luas yang sangat subur.Kebanyakan mata pencaharian penduduk negeri ini adalah bercocok tanam dan perkebunan dengan menanam pohon kurma, buah-buahan jeruk, anggur dan semangka. Sebagian penduduk yang lainnya beternak hewan seperti sapi, kambing, biri-biri dan onta, sehingga mereka hidup makmur, mereka makan hasil buminya dengan nikmat dan hidup damai sejahtera.

Agama yang dipeluk penduduk ini dan keyakinan mereka, sebagaimana penduduk negeri-negeri lain di dunia ini adalah bermacam-macam. Sebagian mereka ada yang beriman kepada Allah dan RasulNya, tetapi sebagian besar mereka adalah penyembah berhala, patung dan menyembelih hewan kurban untuknya.

Yang memerintah negeri yang subur nan makmur ini adalah seorang Raja yang lebih condong kepada agama berhala penyembah patung dan mengajak orang lain dengan paksa agar turut menyembahnya, bila tidak mengikuti kehendaknya, rakyat mengalami penyiksaan yang sangat kejam.

Keadaan dan kondisi ini telah berlangsung puluhan tahun lamanya di bawah kepemimpinannya, banyak diantara kamu muslimin mendapatkan siksaan yang luar biasa, sehingga tiada satu haripun bila ada berita yang sampai kepadanya tentang keberadaan seorang mukmin atau mukminah, pasti ditegakkan hukuman dengan menyiksanya atau menyembelihnya di depan umum, sehingga ia yakin benar dapat mencabut benih-benih iman dari dada penduduknya yang telah lama beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Dengan kondisi politik & sosial yang sangat menyudutkan kaum yang beriman kepada Allah inilah, masih ada beberapa orang yang beriman kepada Allah SWT secara sembunyi-sembunyi, karena mereka lebih takut kepada siksa Allah yang lebih kejam di hari kiamat kelak. Mereka dengan lantang penuh keberanian mendeklarasikan sikap untuk mengabaikan perintah pemimpin mereka. Mereka mampu menguasai diri, sebab mereka memiliki keoptimisan yang dibingkai ruh mas'uliyah (tanggung jawab), ruh isti'la (merasa tinggi) dan sosok kepemimpinan.
Sikap yang mereka lakukan adalah dengan tetap memegang teguh iman kepada Allah SWT dan mengucilkan diri pada sebuah gua sebagai tempat berlindung seraya berdoa : “Wahai tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini”.

Namun, kehendak Allah menginginkan lain, Allah menidurkan mereka dan menutup telinga mereka dari segala kebisingan. Lalu setelah 309 tahun (Qomariyah) lamanya, Allah kembali membangunkan mereka.

Akhirnya, terbukalah segala keajaiban setelah mereka terjaga, terlebih setelah salah satu diantara mereka meminta kawannya untuk membeli sesuatu untuk mengganjal perut yang kosong, mereka sadar, bahwa mereka berada di alam yang bertolak belakang dengan kenyataan lama, mereka berada di lingkungan masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama islam dan mereka yakin, bahwa mereka adalah pelaku sejarah yang dapat menambah keimanan mereka dan kaum mukminin semua.

Demikianlah akhirnya, sesuai dengan janji Allah SWT, bahwa : “Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik” (al-Kahfi : 30). Sehingga mereka pun bergabung menjadi bagian dari masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama islam.
***
Kita tahu, bahwa bukti dan tanda kekuasaan Allah begitu banyak dan menuntut untuk direnungi serta diambil pelajaran ('ibrah). Tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Itu dipaparkan dalam berbagai bentuk dan cara, dimaksudkan agar manusia tidak bosan dan agar sadar serta segera mengakui kewahdaniyahan(keesaan)-Nya. Dan Ashabul kahfi adalah salah satu tanda kekuasaan Allah SWT. yang dipaparkan dalam bentuk kisah yang menarik dan patut direnungi, karena di dalamnya terdapat pelajaran bagi sejarah kehidupan manusia di muka bumi ini.

Barangkali kita harus sepakat, bahwa sesungguhnya sejarah manusia itu akan terulang dari masa ke masa, meskipun perbedaan waktu, tempat dan pelaku, namun substansinya akan tetap sama seperti yang telah terjadi sebelumnya.

Nah, Karena pentingnya memahami dan menyadari substansi kisah ini, Allah sendiri tidak menyebutkan siapa nama pelaku-pelakunya, sebagaimana Allah tidak menyebutkan juga jumlah dan kapan terjadinya secara pasti. Yang jelas tujuannya agar manusia mengambil pelajaran, kemudian menjalani kehidupan dengan hidayahNya. Tujuan seperti inilah yang juga melatarbelakangi sebagian besar mufassirin dalam menyikapi kisah ini, semisal Ibnu Katsir, At-Thabari dll.
***
Diantara saripati yang dapat kita ambil pelajaran dari kisah ashabul kahfi adalah : Tauhidullah (mengesakan Allah SWT). Menurut para Ulama, tauhid (mengesakan) kepada Allah SWT. terbagi menjadi tiga macam, pertama, tauhid al-Uluhiyah, ialah mengesakan Allah Ta’ala dalam beribadah, yaitu meyakini, bahwa beribadah itu hanya ditujukan kepada Allah dan karena-Nya semata.

Kedua : Tauhid ar-Rububiyah, ialah mengesakan Allah Ta’ala dalam perbuatan, yakni mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah lah sang maha pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta.

Ketiga : Tauhid al-Shifat, ialah mengesakan Allah Ta’ala dalam sifat-Nya. Artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Ta’ala dalam Dzat maupun Sifat.

Nah, pilihan para Ashabul kahfi untuk mengasingkan diri pada sebuah gua itu merupakan panggilan dari lubuk hati agar senantiasa dapat mempertahankan keyakinannya tentang islam, sekaligus menjalankan keyakinan itu pada tempat yang terhindar dari penglihatan manusia jelata. Sebab mereka yakin, bahwa penguasa yang sebenarnya adalah Allah SWT. bukan seorang raja yang sedang berkuasa di zamannya. Sebagaimana mereka juga sadar, bahwa segala keangkuhan sang raja, hanyalah gertakan sambal goreng yang dapat sirna dengan berlalunya zaman.

Pengasingan diri yang mereka lakukan, juga merupakan wujud pengorbanan untuk meninggalkan segala kenikmatan duniawi untuk tujuan ukhrawi. Mereka rela meninggalkan keluarga, harta dan tanah air demi menyelamatkan aqidah serta khawatir akan fitnah. Untuk itu bukan tidak mungkin kisah ini menjadi inspirasi bagi hijrah Rasulullah saw. Bersama Abu Bakar ra ke Madinah dan Hijrah pertama kaum muslimin ke Habsyah.

Pengasingan itu pula merupakan metodologi seorang rakyat menolak kebijakan pemimpinnya yang terbukti dengan kedzaliman & kerakusan akan kepemimpinan & kekuasaan. Tentunya, manakala jumlah ashabul kahfi mencukupi, gelombang reformasi pun pasti akan terjadi.

Dan terakhir, mengikuti kronologi kisah Ashabul Kahfi mengantar kita kepada satu titik tujuan utama kisah tersebut yaitu meyakinkan kepada umat manusia terhadap keimanan kepada hari kiamat, hari bangkit di alam mahsyar. Sebab dalam suatu riwayat, pada saat sebelum ashabul kahfi dibangkitkan, masyarakat setempat terpecah kepada dua kubu. Ada yang meyakini adanya hari bangkit di akhirat nanti dan ada yang tidak percaya sama sekali. Bagi seorang mukmin, aqidah ini merupakan sebuah aksiomatis yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Karena keimanan terhadap keduanya ini memacu kita untuk berbuat kebajikan selama di dunia dan menimbulkan rasa tanggung jawab yang tinggi dihadapan mahkamah Allah Swt.

Akhirnya, penggalan kisah ini adalah bagian pertama dari empat kisah lainnya yang terdapat dalam surah Al-kahfi. Semoga dengan kisah ashabul kahfi ini mendorong kita untuk mendalami dan mengkaji kisah-kisah selanjutnya yang terdapat di dalam al-Quran dan tentunya yang teramat penting adalah transformasi nilai ke dalam diri kita lewat skenario kisah tersebut, agar kita menjadi mukmin yang mendapat legalisasi keimanan yang benar dari Allah Swt.

Friday, December 08, 2006

Mencari Kebagagiaan

Dedy W Sanusi

Allah SWT Berfirman :

لإن شكرتم لأزيدنكم و لإن كفرتم إن عذابي لشديد

Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kami mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim, 7).

Tema kebahagiaan telah menjadi bahan pikiran para filosof jauh sebelum agama Islam datang. Ada yang mengatakan, Plato misalnya, kebahagiaan adalah kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang diperoleh dengan menjaga kebersihan jiwa dan menghiasinya dengan kualitas-kualitas terpuji, seperti kemulyaan, keberanian dan kearifan. Bagi kelompok ini, kelezatan material justru mencederai kebahagiaan. Karena kebahagiaan letaknya di jiwa, bukan di badan, maka kebahagiaan hakiki hanya dapat diperoleh ketika jiwa lepas dari badan, setelah kematian.

Ada juga yang mengatakan, sebagaimana Aristoteles, kebahagiaan adalah proses menuju kesempurnaan. Kebahagiaan yang mengendarai dua kendaraan ; badan dan jiwa. Kelezatan material, bagi kelompok ini, bisa dikondisikan untuk juga mendapatkan kelezatan immaterial, kelezatan jiwa. Menurut kelompok ini, sepanjang manusia hidup di dunia ini, berbuat baik, berpikir benar, terus berusaha mendapatkan sifat-sifat terpuji, baik untuk dirinya maupun keluarganya dan berusaha untuk membumikan perbuatan-perbuatan yang diridhai oleh Allah dalam masyarakatnya, maka orang ini adalah orang yang berbahagia.

Kelompok ini merinci kebahagiaan pada lima tempat : Pertama, kesehatan badan dan kelengkapan fungsi panca indera. Kedua, harta yang digunakannya untuk berbuat kebaikan. Ketiga, memiliki citra yang baik dihadapan orang lain, karena perbuatannya yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain. Keempat, sukses dalam cita-citanya. Kelima, memiliki pikiran dan keyakinan yang benar dan lurus, baik dalam agamanya maupun urusan-urusan yang lain, selamat dari kesalahan dan kekeliruan dan pikiran-pikirannya menjadi rujukan orang lain dalam memutuskan segala sesuatu.

Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya : al-Wabil as-Shayyib min al-Kalim at-Thayyib mengemukakan tiga cara untuk mendapatkan kebahagiaan. Menurut beliau, kehidupan ini tidak lepas dari tiga kondisi : pertama, kita mendapat kenikmatan. Kedua, kita mendapat musibah. Ketiga, kita kadang-kadang tergelincir berbuat dosa. Seorang hamba Allah, bisa mendapatkan kebahagiaan dalam tiga kondisi ini, asal dia tahu bagaimana cara menghadapinya.

Firman Allah dalam Al Quran :

لإن شكرتم لأزيدنكم و لإن كفرتم إن عذابي لشديد

Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kami mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim, 7).

Kondisi pertama, ketika kita berhadapan dengan nikmat, kita mesti menghadapinya dengan bersyukur. Sebab jika tidak, nikmat ini tidak lagi memberi kita kebahagiaan, tetapi bahkan menjadi sumber kesengsaraan. Syukur adalah cara kita menjadikan nikmat yang kita peroleh tetap berada dalam jalur yang benar. Jalur yang diterangi oleh akal yang sehat dan petunjuk agama yang benar dan lurus.

Syukur tersusun dari tiga bagian. Pertama adalah kesadaran bahwa segala nikmat yang kita peroleh adalah semata-mata karunia Allah SWT. Kenikmatan ini, mencakup seluruh sumber kebahagiaan, baik yang material maupun immaterial. Kalau Allah mengambil kesehatan kita misalnya, betatapun harta kita banyak, kita tidak akan bisa menikmatinya. Maka kesadaran bahwa kenikmatan dari Allah, adalah sikap mental yang harus kita bangun di hadapan kenikmatan tak habis-habis yang Allah berikan kepada kita. Kedua, kalau kita mesti menyatakan, karena kita berinteraksi dengan orang lain, setidaknya lidah kita berucap Alhamdulillah terhadap nikmat yang kita peroleh. Ketiga, menggunakan kenimatan yang kita dapatkan untuk mendapatkan ridla Allah SWT. Kita keluarkan hak badan dan harta kita sesuai dengan dengan perintah Allah. Ayat di atas sangat jelas mengecam kita untuk jangan coba-coba menggunakan kenikmatan yang kita peroleh untuk semata-mata memenuhi hawa nafsu kita. Azabnya amat pedih, cepat atau lambat.

Banyak orang dengan senang hati menyembah Allah dalam kondisi lapang dan serba ada. Tetapi tidak banyak dari mereka yang tetap menyembah Allah dalam kondisi sulit dan serba kekurangan. Padahal, dalam kondisi terakhir ini, Allah memberikan keistimewaan kepada hambanya, kalau ia tetap mempertahankan bahkan menambah kekuatan hubungannya dengan Allah SWT. Maka kewajiban kita ketika kita berhadapan dengan cobaan, ujian dan musibah adalah bersabar.

Bersabar mengajarkan kita untuk memutus hubungan hati dengan selain Allah. Betapapun kita mencintai harta dan keluarga, akan tiba saatnya, kita mesti berpisah dengannya. Tetapi kapan dan dimanakah kita bisa berpisah dari Allah?. Oleh karena itu, sabar menjadi sarana bagi kita untuk tetap dalam rel agama ketika kita ditimpa bencana. Sabar tersusun dari tiga unsur, pertama: menahan diri untuk tidak menyalahkan keputusan Allah atas musibah yang menimpa kita. Kedua, manahan lidah untuk tidak mengeluh. Ketiga, menahan badan untuk tidak berbuat dosa. Kalau kita dapat berlaku sabar dengan tiga unsur ini, insya Allah, --sebagaimana kata Ibnu al-Qayyim—kita bisa merubah cobaan menjadi anugerah, ujian menjadi pemberian dan sesuatu yang kita benci menjadi sesuatu yang kita cintai. Contoh gampangnya adalah seorang petinju mau mukanya sakit dan benjol biru, demi mendapatkan hadiah uang yang banyak. Bukankah dalam ayat al-Qur’an Allah berfirman:

إنما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (az-Zumar, 10)

Semoga kita termasuk orang-orang yang tetap disiplin beribadah kepada Allah, baik dalam kondisi lapang atau sempit, senang atau susah.

Friday, December 01, 2006

Haruskah Ku Mengingat Ajalku…

Oleh: Firmansyah Waruwu

"Perbanyaklah mengingat penghancur segala kelezatan, yaitu kematian." (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah)


Sejenak kita mengingat dan bercermin serta meratap selama satu hari berapa kali kita teringat dengan kematian yang pasti akan kita jalani nantinya, Allah berfirman “ Setiap yang bernyawa itu pasti akan mati.”


Betapapun bencinya manusia dengan kematian, tidak satupun yang sanggup mengelak darinya. Kematian laksana pintu yang setiap orang akan memasukinya. Kenyataan bahwa sebab kematian begitu mudah, seringkali tak menggugah kesadaran bagi orang yang sedang mabuk kepayang dengan hiasan dunia. Kita menyaksikan dan mendengar sebab kematian orang-orang, ada yang mati di usia muda, ada yang mati di saat sedang tidur, terpeleset atau bahkan ketika makan bakso, Betapa ajal begitu dekat.

Faedah Mengingat Mati


Ad-Daqaaq berkata, "Barangsiapa yang memperbanyak mengingat mati, akan dimuliakan dengan tiga perkara, yaitu bersegera untuk bertaubat, qanaahnya hati, dan rajin dalam beribadah. Sedangkan barangsiapa yang melalaikan kematian niscaya akan ditimpa tiga musibah, yakni menunda taubat, tidak puas dengan apa yang telah didapat dan malas dalam beribadah."


Ketika seseorang menyadari bahwa kematian akan menjemputnya, niscaya ia akan mengingat pula persiapan untuk menghadapinya, dia akan segera ingat dengan dosa-dosa yang nantinya akan dimintai tanggung jawabnya. Hal ini mendorongnya untuk segera bertobat. Ia juga akan berbuat qanaah, tidak serakah terhadap dunia karena dia sadar bahwa itu tidak akan dibawa mati. Selanjutnya dia akan mengalihkan perhatiannya untuk mempersiapkan kematian dengan beribadah. Kalaupun dia mencari harta, tujuannya adalah untuk memuliakan akhiratnya.


Berbeda halnya dengan orang yang malas mengingat mati. Dia akan sibuk mencari kenikmatan dunia, bernafsu melampiaskan syahwatnya dan bergelimang dengan dosa-dosa. Karena dia tidak sadar bahwa kelak kematian akan menghampirinnya dengan tiba-tiba, di saat ia belum memikirkan bekal untuk menghadapinya. Tak terpikir olehnya untuk bertaubat, atau dia merasa masih punya banyak waktu untuk menebusnya sehingga dia berangan untuk menunda taubatnya hingga waktu yang dia sendiri tidak tahu apakah nyawa masih setia bersamanya. Dia juga tidak merasa perlu untuk bersegera melakukan ibadah karena merasa belum saatnya. Benarlah apa yang dikatakan oleh Hasan al-Bashri rahimahullah: "Tiada seorang pun yang panjang angan-angannya melainkan pastilah buruk amal-amalnya."


Mengingat mati adalah obat mujarab untuk melunakkan hati yang keras dan membersihkan karat hati. Telah datang seorang wanita kepada ibunda ummul mukminin Aisyah RH mengadukan akan kerasnya hati yang ia rasakan. Maka Aisyah RH berkata, "Perbanyaklah mengingat mati niscaya hilang penyakit di hatimu!" Akhirnya wanita itupun mengerjakan wejangan itu dan hilanglah penyakit di hatinya, lalu ia datangi kepada ibunda Aisyah untuk mengucapkan terima kasih kepadanya.


Yang Diingat Dalam Kematian:


Jika kita mengetahui faedah mengingat mati, lalu peristiwa manakah yang perlu kita ingat? Banyak peristiwa mengerikan yang dapat kita renungkan dalam peristiwa kematian, yang dengannya hati menjadi lembut, rasa takut bermaksiat semakin bertambah dan semangat ibadah semakin memuncak.


Pertama, bahwa kematian datang secara mendadak. Malaikat maut datang tanpa bisa dicegah, tanpa permisi dan tanpa peduli apa yang sedang dan akan kita kerjakan., baru selesai membangun rumah mewah namun belum sempat menempatinya, atau telah bekerja keras dan hampir saja mendapatkan upahnya, ajal datang tanpa ampun dan tanpa kompromi, atau baru lulus kuliyah tapi tidak dapat menikmati keberhasilannya, itulah kematian.


Betapa banyak kita dapatkan seseorang berangkat ke kantor naik mobil mewah, namun siangnya harus naik keranda roda manusia? Betapa banyak orang yang paginya memakai pakaian indah berdasi lalu siangnya harus orang lain yang melepaskan bajunya untuk diganti dengan kafan? Betapa banyak orang tua yang pagi harinya memandikan anaknya namun siang harinya dia harus dimandikan orang lain sebelum dikafan dan dishalatkan?


Inilah realita yang setiap hari kita dengar dan saksikan, namun keadaan kita seperti yang digambarkan Ar-Rabi bin Barrah: "Aku heran dengan manusia, bagaimana mereka lupakan kejadian yang pasti terjadi? Mereka lihat dengan matanya, mereka menyaksikannya, dan hatipun meyakininya, mengimaninya, dan membenarkan apa yang dikabarkan oleh para Rasul, namun kemudian mereka lalai dan mabuk dengan senda gurau dan permainan."


Kedua, hendaknya kita juga mengingat bahwa kematian itu ada masa sakaratnya. Seperti yang difirmankan Allah "Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya." (Qaaf: 19)


Ketika kematian menjemput Amru bin ‘Ash RA, putranya berkata, "Wahai ayah, Anda pernah berkata, "Sesungguhnya aku heran terhadap seseorang yang di ambang kematiannya, sedangkan akalnya masih lekat, lisannya pun masih sehat namun bagaimana dia tidak mau bercerita?" Maka Amru bin ‘Ash berkata, "Wahai anakku, kematian itu terlalu sulit untuk dikatakan! Akan tetapi baiklah, aku ceritakan sedikit tentangnya, demi Allah seakan-akan di atas pundakku ada gunung Radhwa dan Tihamah…Seakan aku bernafas dengan lubang jarum...Seakan di perutku ada duri yang runcing…Dan langit seakan menghimpit bumi, sedangkan aku berada di antara keduanya..."

Maka marilah kita memperbanyak doa:
"Ya Allah, tolonglah aku untuk menghadapi penderitaan tatkala mati dan sakaratnya."

Kapan mengingat Mati dilakukan


Dzikrul maut (mengingat mati) dapat dilakukan ketika kita mengantar jenazah. Dengan melihatnya kita membayangkan bagaimana jika jenazah yang diusung itu kita.

Ketika Umar bin Abdul Aziz mengurus jenazah, mayat sudah dikubur, diapun berbalik kepada orang-orang sembari berkata: "Seakan kubur itu berkata kepadaku, wahai Umar maukah kuberitahu apa yang aku perbuat terhadap orang ini? Aku bakar kafannya, ku robek badannya, ku sedot darahnya, ku kunyah dagingnya, aku cabut telapak dari tangannya, tangan dari lengannya dan lengan dari pundaknya. Lalu ku cabut pula lutut dari pahanya dan betis dari lututnya dan telapak kaki dari betisnya" kemudian Umar pun menangis.


Dzikrul maut bisa juga dilakukan di keheningan malam, dan bisa juga dengan ziarah ke kuburan, banyak hal yang harus dipahami batas-batasnya. Tidak boleh menentukan waktu tertentu, atau mengkhususkan kuburan tertentu, tidak ada amal tertentu selain ucapan salam, mendoakan si mayit atau untuk mengingat mati.


Dengan mengingat mati kita akan lebih terkendali. Dan memiliki rem untuk tidak melakukan maksiat. Kita pun akan lebih terarahkan untuk melakukan hanya yang bermanfaat saja. Kalau kita lihat para 'arifin dan salafus shalih, mengingat mati bagi mereka, seperti seorang pemuda yang menunggu kekasihnya. Di mana seorang kekasih tidak pernah melupakan janji kekasihnya. Menjelang kematiannya, Sahabat Hudzaifah berkata lirih, "Kekasih datang dalam keadaan miskin. Tiadalah beruntung siapa yang menyesali kedatangannya. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa kefakiran lebih aku sukai daripada kaya, sakit lebih aku sukai daripada sehat, dan kematian lebih aku sukai daripada kehidupan, maka mudahkanlah bagiku kematian sehingga aku menemuimu”, jadi kita di anjurkan tuk mengingat kematian yg akan kita alami.

Semoga dengan tema kematian pada jumat ini lebih mendekatkan diri kita kepada sang pemilik Alam dan seisinya Amin

Friday, November 24, 2006

Keseimbangan Antara Dunia Dan Akhirat

Oleh: Med Hatta

Masalah ekonomi umat Islam rata-rata pada saat sekarang belum menggembirakan, meskipun terdapat banyak negara Islam yang dianugerahkan sumber daya alam yaitu minyak dan gas bumi yang berlimpah-ruah, terutama di Timur Tengah, belum ada satu negara Islam pun yang layak digolongkan dalam kategori negara maju. Hanya ada lima negara Islam, dengan jumlah penduduk tidak lebih dari 6 juta jiwa yang saat ini dikategorikan sebagai negara yang berpendapatan tinggi akan tetapi masih jauh dari kategori negara maju. Sedangkan lebih dari 20 negara Islam dengan jumlah penduduk melebihi 600 juta jiwa, tergolong dalam kategori negara berpendapatan rendah dan terbelenggu dalam kemiskinan. Ini mengindikasikan bahwa cuma setengah persen dari total 1200 juta umat Islam saja yang bisa dikatakan kaya sementara lebih dari 50 persen umat Islam berada dalam garis kemiskinan. Kemudian pertanyaan, adakah fenomena ini sejalan dengan ajaran Islam? atau apakah Islam itu sendiri menginginkan umatnya hidup dalam keadaan zuhud?

Kalau kita kembali membuka lembaran sejarah Islam masa lalu, sungguh kita akan tercengang betapa Islam telah mampu merubah nasib umatnya yang dahulunya mundur, naik pada peringkat teratas hingga menjadi sebuah masyarakat yang sangat tinggi tamaddunnya. Masyarakat Islamlah yang telah mencapai puncak kemajuan di berbagai bidang, terutama dalam memperluas dan mendalami berbagai disiplin ilmu, misalnya sains, matematika, astronomi, kedokteran, sastra, filsafat, mantik, ilmu politik, kemiliteran, pembangunan ekonomi dan sebagainya. Masyarakat Islam jugalah yang telah berjaya dalam mengarungi samudera dan menjelajahi bumi bukan sekedar memperluas wilayah dan daerah jajahan saja akan tetapi lebih dari itu menyebarkan Islam dan ilmu pengetahuan di bumi Allah dimana saja mereka berpijak.

Akan tetapi apa yang telah terjadi pada umat Islam saat sekarang, terutama setelah dijajah selama berkurun waktu yang mengakibatkan pudar keunggulannya. Masyarakat Islam menjadi loyo, letih dan lesu, bagaikan seekor burung yang sayapnya patah yang tidak mampu lagi untuk bangkit dan mengepakkan sayapnya, tidak mampu untuk mengembangkan apa yang pernah diraihnya.

Sekarang faktor apa yang paling dominan menyebabkan kemunduran umat Islam pada saat sekarang ini? Apakah hanya faktor penjajahan saja – seperti disebut di atas - atau ada faktor lain? Mungkinkah karena umat Islam hanya lebih mementingkan kehidupan akhirat saja dan sudah melupakan kehidupan duniawinya? Apakah umat Islam sudah melalaikan ajaran Islamnya sendiri yang notabene sebagai agama atau cara hidup yang sempurna?

Untuk menjawabnya mari kita berpijak dari firman Allah SWT "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniwi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan" (QS. Al-Qashash: 77).

Untuk menjelaskan ayat di atas saya akan mencoba menguraikannya ke dalam 3 kategori utama sesuai dengan makna kandungan ayat, yaitu:

1. Kehidupan Akhirat Adalah Tujuan

Allah SWT berfirman, "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat".

Di sini terlihat dengan jelas bahwa yang harus kita kejar adalah kebahagiaan hidup akhirat. Mengapa? Karena di sanalah kehidupan abadi. Tidak ada mati lagi setelah itu. Karenanya dalam ayat yang lain Allah berfirman: "Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya" (QS. Al-Ankabut: 64).

Lalu, apa arti kita hidup di dunia?... Dunia tempat kita mempersiapkan diri untuk akhirat. Sebagai tempat persiapan, dunia pasti akan kita tinggalkan. Ibarat terminal, kita transit di dalamnya sejenak, sampai waktu yang ditentukan, setelah itu kita tinggalkan dan melanjutkan perjalanan lagi. Bila demikian tabiat dunia, mengapa kita terlalu banyak menyita hidup untuk keperluan dunia? Diakui atau tidak, dari 24 jam jatah usia kita dalam sehari, bisa dikatakan hanya beberapa persen saja yang kita gunakan untuk persiapan akhirat. Selebihnya bisa dipastikan terkuras habis oleh kegiatan yang berputar-putar dalam urusan dunia.

Coba kita ingat nikmat Allah yang tak terhingga, setiap saat mengalir dalam tubuh kita. Tapi mengapa kita lalaikan itu semua. Detakan jantung tidak pernah berhenti. Kedipan mata yang tak terhitung berapa kali dalam sehari, selalu kita nikmati. Tapi kita sengaja atau tidak selalu melupakan hal itu. Kita sering mudah berterima kasih kepada seorang yang berjasa kepada kita, sementara kepada Allah yang senantiasa memanja kita dengan nikmat-nikmatNya, kita sering kali memalingkan ingatan. Akibatnya kita pasti akan lupa akhirat. Dari sini dunia akan selalu menghabiskan waktu kita.

Orang-orang bijak mengatakan bahwa dunia ini hanyalah keperluan, ibarat WC dan kamar mandi dalam sebuah rumah, ia dibangun semata sebagai keperluan. Karenanya siapapun dari penghuni rumah itu akan mendatangi WC atau kamar mandi jika perlu, setelah itu ditinggalkan. Maka sungguh sangat aneh bila ada seorang yang diam di WC sepanjang hari, dan menjadikannya sebagai tujuan utama dari dibangunnya rumah itu. Begitu juga sebenarnya sangat tidak wajar bila manusia sibuk mengurus dunia sepanjang hari dan menjadikannya sebagai tujuan hidup. Sementara akhirat dikesampingkan.

Kemudian bagaimana mensinkronkan atau menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat? Mari kita ikuti kategori ke dua sebagai sambungan penjelasan ayat di atas.

2. Berusaha Memperbaiki Kehidupan Dunia

Allah SWT berfirman: ”Dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu".

Ayat di atas dengan jelas bahwasannya Allah memerintahkan umat Islam untuk selalu berusaha menggapai kebahagiaan akhirat, tetapi jangan melupakan kehidupan di dunia ini. Meskipun kebahagiaan dan kenikmatan dunia bersifat sementara tetapi tetaplah penting dan agar tidak dilupakan, sebab dunia adalah ladangnya akhirat.

Masa depan — termasuk kebahagiaan di akhirat — kita, sangat bergantung pada apa yang diusahakan sekarang di dunia ini. Allah telah menciptakan dunia dan seisinya adalah untuk manusia, sebagai sarana menuju akhirat. Allah juga telah menjadikan dunia sebagai tempat ujian bagi manusia, untuk mengetahui siapa yang paling baik amalnya, siapa yang paling baik hati dan niatnya.

Allah mengingatkan perlunya manusia untuk mengelola dan menggarap dunia ini dengan sebaik-baiknya, untuk kepentingan kehidupan manusia dan keturunannya. Pada saat yang sama Allah juga menegaskan perlunya selalu berbuat baik kepada orang lain dan tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Allah mengingatkan: ”Tidakkah kalian perhatikan bahwa Allah telah menurunkan untuk kalian apa-apa yang ada di langit dan di bumi dan menyempurnakan untuk kalian nikmat-Nya lahir dan batin” (QS. Luqman: 20).

Untuk mengelola dan menggarap dunia dengan sebaik-baiknya, maka manusia memerlukan berbagai persiapan, sarana maupun prasarana yang memadai. Karena itu maka manusia perlu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, setidaknya keterampilan yang mencukupi dan profesionalisme yang akan memudahkan dalam proses pengelolaan tersebut.

Meskipun demikian, karena adanya sunatullah, hukum sebab dan akibat, tidak semua manusia pada posisi dan kecenderungan yang sama. Karena itu manusia apa pun; pangkat, kedudukan dan status sosial ekonominya tidak boleh menganggap remeh profesi apa pun, yang telah diusahakan manusia. Allah sendiri sungguh tidak memandang penampakan duniawiah atau lahiriah manusia. Sebaliknya Allah menghargai usaha apa pun, sekecil apa pun atau sehina apa pun menurut pandangan manusia, sepanjang dilakukan secara profesional, baik, tidak merusak dan dilakukan semata-mata karena Allah.

Allah hanya memandang kemauan, kesungguhan dan tekad seorang hamba dalam mengusahakan urusan dunianya secara benar. Allah SWT menegaskan bahwa:”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah kedudukan suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah kondisi, kedudukan yang ada pada diri mereka sendiri (melalui kerja keras dan kesungguhannya” (QS. Ar-Ro’d: 11).

Allah juga mengingatkan manusia karena watak yang seringkali serakah, egois /sifat ananiyah dan keakuannya, agar dalam mengelola dunia jangan sampai merugikan orang lain yang hanya akan menimbulkan permusuhan dan pertumpahan darah (perang) antar sesamanya. Manusia seringkali karena keserakahannya berambisi untuk memiliki kekayaan dan harta benda, kekuasaan, pangkat dan kehormatan dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan hak-hak Allah, rasul-Nya dan hak-hak manusia lain. Karena itu Allah mengingatkan bahwa selamanya manusia akan terhina dan merugi, jika tidak memperbaiki hubungannya dengan Allah (hablun minallah) dan dengan sesamanya-manusia (hablun minannaas).

Inilah landasan yang penting bagi terciptanya harmonisme kehidupan masyarakat. Ia juga merupakan landasan penting dan prasyarat masyarakat yang bermartabat dan berperadaban menuju terciptanya masyarakat madani yang damai, adil, dan makmur.

3. Menjaga Lingkungan

Sebagai sarana hidup, Allah SWT melarang manusia membuat kerusakan di muka bumi. Mereka boleh mengelola alam, tetapi untuk melestarikan dan bukan merusaknya. Firman Allah dari sambungan ayat di atas: "Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan".

Allah SWT menyindir kita tentang sedikitnya orang yang peduli pada kelestarian lingkungan di muka bumi, firmanNya; "Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil " (QS. Huud ayat 116).

Dalam kaidah Ushul Fikih dikatakan, Ad-dlararu yuzalu: segala bentuk kemudharatan itu mesti dihilangkan. Nabi SAW bersabda : "La dlarara wala dlirara", artinya ialah tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain.

Dari sini dapat dibuat peraturan teknis untuk mencegah kerusakan lingkungan yang pada akhirnya membahayakan kehidupan manusia itu sendiri. Pelanggaran terhadap hal itu, di samping berdosa juga harus dikenai hukuman ta'zir; mulai dari denda, cambuk, penjara, bahkan hukuman mati tergantung tingkat bahaya yang ditimbulkannya.

Karena itu, bila kita ingin terhindar dari berbagai bencana harus ada revolusi total tentang pandangan manusia terhadap alam sekitarnya. Cara pandang kapitalistik dan individualistik yang ada selama ini harus diubah. Ini karena menganggap alam sekitarnya sebagai faktor produksi telah membuat orang rakus, serakah, dan sekaligus oportunis.

Pandangan hidup untuk berkompetisi berdasarkan pada teori Survival on the fittes membuat manusia merusak harmoni kehidupan. Ketidak percayaan pada nikmat Allah yang tiada terhitung membuat manusia membunuh sesama makhluk Allah demi memuaskan kebutuhannya.

Friday, November 17, 2006

Islam dan Solidaritas Sosial

Oleh : Muhammad Nasir

Secara etimologi arti solidaritas adalah kesetiakawanan atau kekompakkan. Dalam bahasa Arab berarti tadhamun atau takaful. Islam adalah agama yang mempunyai unsur syariah, akidah, muamalah dan akhlak. Kejayaan Islam juga sudah terbukti membentang dalam peradaban manusia. Nilai-nilai Islam yang terpancar dan dirasakan oleh umat manusia, adalah suatu hal yang tidak bisa diukur dengan harta benda, karena dia berasal dari Yang Maha Kuasa. Solidaritas salah satu bagian dari nilai Islam yang humanistik-transendental.

Wacana solidaritas bersipat kemanusiaan dan mengandung nilai adiluhung, tidaklah aneh kalau solidaritas ini merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi !. Memang mudah mengucapkan kata solidaritas tetapi kenyataannya dalam kehidupan manusia sangat jauh sekali. Kita sebagai bangsa Indonesia yang didera multi krisis jangan berkecil hati untuk memperbaiki ke arah yang lebih baik lagi. Perjuangan solidaritas ala Islam salah satu wahana untuk meningkatkan ketakwaan dan keshalehan sosial. Di alam yang serba komplek ini untuk menuju tangga ketakwaan (solidaritas) memang membutuhkan perjuangan yang tidak remeh karena berkaitan dengan hati dan kesiapan. Tapi tidaklah kita memperhatikan teladan nabi Muhammad SAW dan sebagian para sahabat nabi yang dijamin masuk surga, mereka melakukan amalan-amalan yang terpuji karena mengharap ridha Allah SWT?..

Keshalehan sosial bukan milik kiyai, konsultan, tukang cukur, bankir, tukang baso, peneriak reformasi dsb. Tapi setidaknya keshalehan sosial ini bisa diukur dengan parameter orang bersangkutan berbuat amal shaleh dan proyek kebaikan lainnya. Karena iman dan amal menjadi mata rantai yang harus sinergis, oleh karena itu keduanya tampil menjadi mainstream (unsur, indikator. Pen) dalam sebuah perubahan sosial. Akan sulit kiranya, sebuah perubahan jika iman hanya disandarkan pada keshalehan vertikal (mahdhah) tanpa dibarengi dengan keshalehan sosial (amal shleh) yang lebih memihak kepada persoalan kemanusiaan. Inti dari iman tidak cukup percaya kepada Tuhan, namun iman bisa berfungsi untuk memerangi ketidakadilan dan pembebasan manusia (Abdus Salam, Waspada online, 7-6-2004).

Nilai kebaikan solidaritas dalam Al-Quran berbunyi: “… Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. Al-Maidah: 2). Inilah pondasi nilai Islam yang merupakan sistem sosial, dimana dengannya martabat manusia terjaga, begitu juga akan mendatangkan kebaikan bagi pribadi, masyarakat dan kemanusiaan tanpa membedakan suku, bahasa dan agama. Solidaritas juga tercermin dalam Hadits: “Saya (Rasulullah SAW) dan pengayom, pelindung anak yatim di surga seperti dua ini, lalu Rasulullah SAW memberikan isarat dengan jari telunjuk dan tengah” (HR At-Tirmidzi). Maksudnya orang yang suka memberikan pertolongan kepada anak yatim, nanti di surga akan berdekatan dengan Rasulullah SAW, seperti jari telunjuk dan tengah. Dalam Hadis lain dijelaskan juga (solidaritas) selain kepada anak yatim.

Bagi yang mampu melakukan aksi solidaritas tetapi tidak melaksanakannya, maka orang tersebut telah mendustakan agama seperti terungkap dalam firman Allah SWT : “Tahukah kamu orang yang mendustakan agama ?. Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan barang berguna (tolong menolong). (QS. Al-Maauun : 1-7).

Dalam hal solidaritas juga, Rasululllah SAW telah membuat ilustrasi yang bagus sekali : « Perumpamaan orang-orang mumin dalam cinta dan kasih sayangnya seperti badan manusia, apabila salah satu anggota badan sakit maka seluruh anggota badan merasakannya ». (HR Al-Bukhari). Dalam redaksi lain ada tambahan yang berbunyi : « Allah akan menolong seseorang hamba, selama hamba itu menolong saudaranya”. Solidaritas tidak hanya dalam perkara benda saja tetapi meliputi kasih sayang, perhatian, dan kebaikan lainnya. Agama Islam sangat menganjurkan pada solidaritas kebersamaan dan sangat anti yang berbau perpecahan, menghembuskan sipat permusuhan di masyarakat. Karena titik kekuatan suatu komunitas atau negara terletak pada solidaritas kebersamaan dan persatuan.


Solidaritas Islam dan Bangsa Indonesia.

Dalam Islam, solidaritas terdiri dari: (1) Solidaritas Sosial seperti disinggung diatas, (2) Solidaritas Keadilan, yaitu seorang hakim menegakkan keadilan terhadap rakyat dan negerinya, karena Allah SWT memerintahkannya. (QS. An-Nahl:90), (3) Solidaritas Ilmu, yaitu keharusan seorang Alim atau kiyai mengajar orang yang tidak tahu dan kewajiban orang yang tidak tahu belajar kepada Alim. (QS. At-Taubah:122) dan (4) Solidaritas dalam Perlawanan, yaitu kewajiban kaum Muslimin membela agama dan negaranya.(QS. At-Taubah:41).

Sampai sekarang bangsa Indonesia sudah merdeka 61 tahun. Dalam hal solidaritas, bangsa Indonesia telah terpayungi oleh sila ketiga: Persatuan Indonesia dan sila kelima: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Solidaritas sosial merupakan hal yang penting, tidak aneh apabila Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional diabadikan dari peristiwa sejarah tanggal 20 desember 1948, yaitu ketika terjalin kemanunggalan TNI dan rakyat persis sehari setelah agresi militer Belanda. Dua kekuatan milik bangsa Indonesia yaitu TNI dan rakyat bahu-membahu dalam perjuangan bersenjata untuk mengenyahkan penjajahan Belanda. Kesetiakawanan yang tulus, dilandasi rasa tanggung jawab yang tinggi kepada tanah air (pro patria) menumbuhkan solidaritas bangsa yang sangat kuat untuk membebaskan tanah air dari cengkraman agresor.

Nilai solidaritas adalah sangat mahal sekali dan tidak bisa diukur dengan uang juga tidak akan terukur, karena solidaritas (dalam hal ini bangsa Indonesia) telah diterjemahkan oleh pahlawan-pahlawan kita berupa harta, pikiran, pengorbanan dan juga nyawa. Semoga Allah SWT membalas dengan surgaNya di akhirat nanti !. Karena tanpa ruh pahlawan mustahil negara Indonesia akan terwujud. Sayang seribu kali sayang generasi setelahnya tidak setangguh pejuang kemerdekaan. Dengan kata lain berarti “kita” telah mengkhianati solidaritas adiluhungnya para pahlawan-pahlawan terdahulu. Rupanya sebagian pemimpin negeri ini tidak menghayati dan mengamalkan nilai solidaritas “yang maha suci itu”. Sampai sekarang kehidupan sebagian pemimpin-pemimpinnya penuh dengan kemewahan di tengah kemiskinan rakyat dan kemerosotan akhlak bangsanya yang akhirnya melemahkan solidaritas sosial antara pemimpin dan rakyatnya, rakyat dengan rakyatnya, dan akhirnya negara itu hancur.

Perilaku pemimpin suatu bangsa, besar sekali pengaruhnya kepada kehidupan masyarakat banyak. Bangsa Indoneia memiliki karakteristik masyarakat yang paternalistik yang rakyatnya beroreintasi ke atas.

Apa yang dilakukan pemimpin akan ditiru oleh rakyatnya, baik perilaku pemimpin yang baik maupun yang buruk. Maka mulailah dari keteladanan para pemimpin untuk hidup yang wajar yang tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Dengan kita membangun solidaritas sosial yang tangguh, maka bangsa kita akan menjadi bangsa yang kuat, maju, demokrtis dan modern. (Dr. H. Nanat Fatah Natsir, harian Pikiran Rakyat, 7-10-2005).

Makasid syariah atau tujuan syariah tidak akan tercapai kecuali kita menapaki tatanan praksis (baca: mengimplementasikan keshalehan sosial disamping keshalehan hati). Tatanan praksis ini telah disinggung oleh pemikir Barat yang bernama Frank Whaling ketika berusaha mendefinisikan agama, menyatakan bahwa sebuah komunitas iman, bisa disebut sebagai agama manakala memiliki delapan unsur pokok di dalamnya. Salah satu unsur pokok itu adalah keterlibatan dalam kehidupan sosial dan politik (Involment in social and poitical context). (Abdus Salam, 7-6-2004).

Semoga kita bisa mengimplementasikan keshalehan sosial ini dalam kehidupan kita sehari hari, dan menjaganya sehingga menjadikan cermin yang baik terhadap kehidupan sosial disekitar kita. wawlahualam bisshawab

Friday, November 10, 2006

Sebab Sebab Masuk Neraka Saqor

Oleh: Nasrullah Jasam, MA.

Jika kita bicara surga dan neraka adalah bicara tentang dua hal yang kontradiktif, yang pertama penuh dengan cerita indah, megah dan mewah sedang yang lain penuh dengan cerita menakutkan, menyeramkan dan membuat bulu kuduk merinding. Sungguhpun demikian, sesungguhnya surga dan neraka adalah "ma laa ainun ra'a,t wa laa udzunun sami'at, wa laa qalbun khatharat" (sesuatu yang belum pernah disaksikan mata, terdengar oleh telinga atau terlintas dalam hati) jadi bagaimana indahnya surga tidak bisa kita bayangkan, yang jelas sangat indah sekali dan juga bagaimana seramnya neraka tidak bisa kita bayangkan tapi yang jelas siksaanNya sangat dahsyat sekali. Adapun yang Allah gambarkan dalam Al-Qur'an tentang keindahan surga dan seramnya neraka adalah berupa perumpamaan-perumpamaan yang bisa dijangkau manusia, tapi surga dan neraka yang sesungguhnya adalah seperti yang telah disinggung diatas "ma laa ainun ra'a,t wa laa udzunun sami'at, wa laa qalbun khatharat". Dalam artikel singkat ini saya akan coba menjelaskan penyebab masuknya ke neraka Saqr seperti yang terdapat dalam surat Al- Mudatsir ayat 36-56

Sebab Turun (Asbab An-Nuzul )nya Surat Al-Mudatsir

Sebab turunnya surat Al-Mudatsir adalah sebagaimana riwayat yang terdapat dalam kitab زاد المسير ج: 8 ص: 403 , diceritakan bahwa Al-Walid bin Mughirah salah seorang pemuka Quraisy datang kepada Nabi SAW mendengarkan ayat Al-Qur'an, setelah mendengarkan ayat tersebut ia merasa tertarik dan belum pernah dengar sya'ir seindah itu. Berita ketertarikannya itu terdengar oleh Abu Jahal, kemudian Abu Jahal memerintahkan ia untuk tidak menyampaikan ketertarikannya itu kepada kafir Quraisy yang lain, sampai akhirnya keduanya bersepakat untuk memberikan pernyataan bahwa Al-Qur'an adalah merupakan sihir yang dipelajari oleh orang-orang terdahulu.

Sikap Abu Jahal yang melarang Al-Walid bin Mughirah untuk menceritakan ketertarikannya terhadap Al-Qur'an kepada orang kafir Quraisy lain tentunya tidak lepas dari kekhawatirannya akan pengaruh cerita Al-Walid, karena jika penyair selevel Al-Walid sudah mengakui keindahan Al-Qur'an tentu akan berdampak besar bagi kafir Qurais lainnya, jangan-jangan mereka akan segera mengakui kerasulan Muhammad. Sehingga keduanya bersepakat untuk memberikan pernyataan yang tidak akan membuat kagum kafir Quraisy terhadap Al-Qur'an, yaitu dengan mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah : "Lalu ia berkata (Al-Qur'an) ini tidak lain adalah sihir yang dipelajari (dari orang-orang terdahulu".

Penghuni Neraka Saqar

Neraka Saqr adalah neraka yang tidak membiarkan orang yang diazab didalamnya menarik nafas untuk beristirahat dari azab, bahkan setelah diazab dengan azab yang pedih ia dikembalikan kepada bentuknya semula untuk diazab lagi, neraka saqr adalah neraka yang membakar kulit manusia : "Tahukah kamu apa (neraka) saqar itu? Saqar itu tidak meninggalkan dan membiarkan. (neraka saqar) adalah pembakar kulit manusia, diatasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga)".

Lalu untuk siapakah neraka Saqar itu dipersiapkan? Allah SWT menjelaskan ketika penduduk surga bertanya apa yang menyebabkan mereka menjadi penghuni neraka Saqr, sebagaimana firmanNya: "Apa yang memasukkan kamu ke (neraka) saqar?" Maka para penghuni Saqar itu menjawab : "Mereka menjawab: "kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian". Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa'at dari orang-orang yang memberikan syafa'at".

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa sebab-sebab masuk neraka Saqr itu adalah :

Meninggalkan Shalat

Dalam Al-Qur'an seringkali disebutkan pentingnya ibadah shalat dan ancaman bagi orang yang melalaikan shalat. Seperti kita ketahui ibadah shalat adalah salah satu rukun Islam, ulama menyatakan bahwa seseorang yang mengingkari ibadah ini adalah kafir. Apa sih istimewanya ibadah shalat?, dalam salah satu hadistnya Rasulullah SAW bersabda; "Tidaklah Aku diutus ke dunia ini kecuali untuk menyempurnakan akhlak", lalu dalam hadist lain disebutkan "Amal ibadah yang paling pertama diperiksa di hari kiamat nanti adalah shalat". Sekilas dua hadist ini bertolak belakang disatu sisi. Tujuan Rasulullah diutus ke dunia ini untuk memperbaiki akhlak namun disisi lain amal ibadah seorang hamba yang pertama kali diperiksa adalah shalat, jika tujuan diutusnya Rasulullah untuk memperbaiki akhlak mestinya yang pertamaka kali diperiksa dari seorang hamba di hari kiamat adalah akhlaknya bukan shalatnya, tapi kenapa yang diperiksa justru ibadah shalat?. Dari sini kita bisa memahami bahwa ibadah shalat jika dilakukan dengan benar maka akan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap akhlak seseorang, oleh karena itu wajar jika amal ibadah yang pertama diperiksa hari kiamat nanti adalah shalat, karena jika shalat seseorang baik maka akan baik pula akhlaknya, shalat yang baik adalah shalat yang bisa menjauhkan seseorang dari perbuatann keji dan munkar seperti yang Allah jelaskan dalam surat Al-Ankabuut ayat 45 :"......Sesungguhnya shalat mencegah perbauatan keji dan munkar....."

Tidak Peduli Terhadap Orang Miskin

Salah satu hikmah yang bisa diambil dari ibadah puasa adalah melatih kepekaan sosial kita. Dengan melaksanakan ibadah puasa, kita dapat merasakan sesuatu yang dirasakan orang miskin selama ini, sehingga dengan melaksanakan ibadah puasa ini diharapkan hati kita lebih bisa terketuk lagi terhadap penderitaan orang lain dan lebih care terhadap nasib sesama muslim, dalam Al-Qur'an banyak disebutkan ancaman bagi orang yang tidak peduli terhadap nasib orang miskin, dalam surat ini dijelaskan bahwa cuek terhadap orang miskin bisa menyebabkan masuk kedalam neraka Saqr, dan ini mestinya juga menjadi perhatian para petinggi negara kita dikala bangsa ini dilanda keterpurukan, kemiskinan makin bertambah seharusnya mereka tidak boleh egois memikirkan tunjangan ini itu, tetapi mestinya lebih mengkonsentarsikan diri bagaimana seharusnya memperbaiki nasib mereka, yang jelas nasib mereka tidak akan mudah berubah kearah yang lebih baik dengan hanya memberikan mereka dana konpensasi BBM sebesar 300 ribu rupiah per 3 bulan. Peduli terhadap orang miskin bukan berarti dengan memberikan sejumlah uang kepada mereka kemudian masalah dianggap selesai tapi lebih dari itu bagaimana kita membentuk mereka menjadi tenaga-tenaga yang produktif sehingga mampu untuk hidup mandiri dan keluar dari kemiskinan juga bermanfaat bagi orang banyak, dengan demikian Insya-Allah setiap tahun jumlah orang miskin akan semakin berkurang.

Berkumpul Dengan Ahlul Bathil

Berapa banyak orang yang terpuruk karena teman, oleh karena itu memilih teman menjadi hal yang penting, nabi Yusuf dan nabi Ibrahim pernah berdo'a untuk bisa bergabung dengan orang-orang sholeh baik di dunia maupun di akhirat seperti yang terdapat dalam Al-Qur'an surat Yusuf ayat 101 dan surat Assyu'ara ayat 83.

Dalam ayat yang sedang kita bahas ini, salah satu penyebab masuknya seseorang ke neraka Saqr adalah berbicara bathil dengan kelompok orang yang membicarakannya. Di zaman sekarang banyak sekali dan dengan mudah kita temukan tempat-tempat untuk melakukan hal tersebut, sebut saja cafe plus, diskotik dan lain-lainnya yang berkaitan dengan dugem (dunia gemerlap).

Mengingkari Hari Kiamat

Kapankah dunia akan berakhir? Atau kah dunia itu tidak akan pernah berakhir? Dari sejak dulu selalu ada sekelompok orang yang tidak percaya akan adanya hari kiamat. Pada zaman terdahulu orang-orang kafir yang tidak mau mengikuti ajaran para Rasul yang diturunkan oleh Allah SWT menganggap bahwa kiamat tidak akan pernah ada dan demikian juga halnya dengan kehidupan setelah mati, menurut mereka jika mereka mati maka itulah akhir kehidupan dan tidak akan ada kebangkitan lagi. Pengingkaran mereka terhadap hari kebangkitan jelas sekali digambarkan dalam Al-Qur'an surat Yasin ayat 78 :"ia berkata : Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?"

Di zaman sekarang juga masih banyak orang yang tidak percaya akan hari kiamat dan kehidupan setelah mati, baru-baru ini majalah Gatra memberitakan bahwa seorang ilmuwan A.S. yang bernama Raymond Kurzweil mengatakan bahwa keinginan manusia untuk dapat hidup abadi itu hanya tinggal 25 tahun lagi tepatnya tahun 2030. Kurzweil yakin dengan bantuan teknologi, manusia bisa menolak kematian!. Menurut Kurzweil, lompatan bioteknologi dan kedokteran bakal mampu menghentikan proses penuaan pada manusia, itu terjadi pada 2030. Kurzweil menjelaskan, ada tiga jembatan proses yang harus dilalui untuk menuju keabadian. Pertama, berterima kasihlah pada nanoteknologi yang mampu menciptakan nanorobot yang ukurannya bisa sekecil sel darah merah, yang dapat memperbaiki berbagai kerusakan tubuh.Jembatan kedua adalah revolusi bioteknologi yang membawa manusia mengatasi keterbatasan tubuh biologisnya. Berbagai penyakit bisa diatasi, proses penuaan dapat dihambat, dan fungsi tubuh jadi lebih optimal. Namun, sebelum kedua jembatan tadi tercipta, sambil menunggu, manusia harus melewati jembatan pendahuluan . Yakni bertahan hidup dengan teknologi "primitif": diet dan olahraga.Jika ketiga jembatan itu terbentuk, dampaknya sangat besar pada kehidupan manusia. Dalam Singularity, Kurzweil bercerita, jantung manusia di masa depan dapat beristirahat. Sebab tugasnya sudah digantikan oleh nanorobot yang mengalirkan darah ke seluruh tubuh.Bahkan, pada 2050, Kurzweil percaya, akhirnya teknologi mengizinkan otak manusia untuk meninggalkan tubuh "berairnya" pindah ke tubuh robot. Disitulah kemudian tercipta sebuah "keabadian". Pendek kata, Kurzweil menganggap manusia bakal mampu meraih keabadian dalam genggaman, menghindari sang Malaikat Maut!

Sebagai orang yang beriman tentu kita meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi akan hancur dan tidak ada yang abadi seperti yang Allah tegaskan dalam surat Al-Qashas ayat 88:".....Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah. Bagi-Nya lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan."

Dan yang perlu diingat lagi adalah betapapun tingginya ilmu manusia jika dibandingkan dengan ilmu Allah bagaikan setetes air di tengah lautan, terlalu banyak hal yang tidak diketahui karena keterbatasan akal kita, kecerdasan tanpa keimanan hanya akan melahirkan manusia-manusia sombong yang lupa akan kebesaran Allah, padahal sesungguhnya semua yang kita miliki adalah berkat anugerah Nya.

Friday, November 03, 2006

Hakikat Fitrah Manusia

Oleh : Husnul Amal Mas’ud

Tanpa terasa, 10 hari sudah Ramadan berlalu. Bulan tempat menempa diri, menguji kesungguhan untuk menggapai surga dengan segala kemudahan dan keistimewaan di dalamnya. Mudah karena sepanjang Ramadan, pintu-pintu surga dan rahmat dibuka oleh Allah seluas-luasnya, sehingga terasa ringan badan dan jiwa menjalankan segala macam ibadah. Istimewa karena begitu besar perhatian Allah terhadap segala amalan hambanya di bulan tersebut; amalan yang sunah diberikan pahala seperti amalan wajib, dan amalan yang wajib dilipatgandakan pahalanya oleh Allah. Pintu-pintu ampunan dibuka sedangkan pintu-pintu neraka ditutup, bahkan setan pun dibelenggu untuk mengurangi potensinya menyesatkan manusia.

Pada bulan Syawal ini manusia telah kembali berada pada fitrahnya, asal kejadiannya yang masih suci dan murni. Bulan fitrah yang selalu di awali dengan perayaan Idul Fitri setelah menjalankan ritual puasa dan amalan-amalan yang disyariatkan oleh Allah selama Ramadan,

Sayyid Qutb membagi fitrah kepada dua macam: Pertama, fitrah manusia, yaitu bahwa potensi dasar yang ada pada manusia adalah untuk menuhankan Allah dan selalu condong kepada kebenaran. Kedua, fitrah agama, yaitu wahyu Allah yang disampaikan lewat para rasulnya untuk menguatkan dan menjaga fitrah manusia itu. Kedua macam fitrah ini adalah diciptakan dan bersumber dari Allah SWT. Oleh karenanya, antara fitrah manusia dan fitrah agama tidaklah akan pernah terjadi pertentangan karena keduanya mengarah kepada tujuan yang satu, kebenaran dan kesucian jiwa yang menjadikan manusia kembali dan dekat kepada sang penciptanya, Allah SWT.

Allah SWT berfirman :
“(dan Allah berfirman): "Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan isterimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Al-A’raf : 19)

Perhatikan dialog Allah SWT dan Adam AS pada ayat tersebut. Allah SWT berbicara kepada Adam dengan menggunakan perkataan “pohon ini” yang mengisyaratkan kepada kedekatan jarak antara Adam dan Rabbnya. Itulah nuansa kedekatan yang dihadirkan ketika Adam dan Hawa patuh kepada ketetapan Tuhan, ketika Adam dan Hawa masih dalam fitrah asal kejadiannya.

Namun perhatikan bagaimana Allah menegur Adam AS dan Hawa ketika keduanya terlanjur terbujuk rayuan setan untuk menjamah pohon larangan : “Kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon itu dan aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?" (QS. Al-A’raf : 22)

Ya, ketika Adam memilih menyalahi fitrah, tidak patuh (maksiat) terhadap perintah Allah, terciptalah jarak yang menyebabkan Adam jauh dari Rabbnnya sehingga Allah memilih kata “pohon itu” pada dialog ayat tersebut.

Inilah hakikat fitrah manusia. Apabila mereka taat dan patuh pada perintah Allah, mereka akan selalu dekat dengan-Nya. Apabila ia dekat dengan Tuhannya, ia akan selalu merasakan kehadiran Tuhan setiap saat. Ia akan merasa bahwa setiap perilakunya, gerak geriknya berada dalam pengawasan Allah. Seumpama seorang bintang film yang sedang berada di depan kamera, segala gaya dan mimiknya akan direkam dan hasilnya akan dipertontonkan nanti. Oleh karenanya si bintang film akan berusaha semaksimal mungkin menjalankan perannya, berakting dengan penuh penghayatan dan berupaya untuk tidak menyalahi skenario yang telah digariskan.

Jika fitrah manusia telah kembali dan terjaga, timbullah sifat Ihsan dalam dirinya; serasa ia berada dalam perhatian Allah, sehingga menjadikannya tertib dan berhati-hati dalam setiap sikap dan perbuatan. Karena ia sadar bahwa setiap perilakunya sedang direkam dan bakal dipertontonkan di Mahkamah Mahsyar nanti. Inilah kesan dekatnya hamba kepada Tuhannya ketika telah kembali kepada fitrahnya setelah menjalani penempaan selama Ramadan.

Karena itulah, ketika Allah menjelaskan tentang perintah, hakikat, tujuan dan syariat-syariat yang berkaitan dengan puasa Ramadan, di tengah ayat-ayat tersebut Allah menjelaskan betapa dekatnya Dia dengan hamba-hambaNya :

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah : 186).

Inilah hakikat dan tujuan puasa Ramadan yang telah kita lalui kemarin. Ramadan mengajak manusia untuk kembali kepada fitrah asal kejadian mereka, yaitu dekat dengan Allah SWT. Dengan suasana kedekatan ini, manusia selalu akan merasa sadar akan keberadaan Rabbnya. Dan ini pula yang dimaksudkan juga dengan taqwa yang menjadi tujuan inti ibadah puasa. Sebuah kesadaran bahwa Allah senantiasa mengawasi setiap perilaku dan gerak geriknya karena tempaan Ramadan telah membangkitkan kembali hakikat fitrahnya, yaitu bahwa ia dekat dengan Rabbnya

Maka pada bulan Syawal ini di mana puasa Ramadan baru saja beberapa hari berlalu, renungkanlah di mana posisi kita telah berada saat ini? Apakah kita sudah semakin dekat kepada Allah, ataukah keadaan kita tidak jauh berbeda ketika sebelum memasuki madrasah puasa Ramadan? Adakah kesan Ramadan dan segala ritual ibadah yang telah kita lakukan dalam Ramadan masih membekas dalam diri pada bulan Syawal ini ataukah nuansa Ramadan malah telah berbalik seratus delapan puluh derajat? Adakah Ramadan tetap membekasi kita di bulan syawal ini, bulan “idul fitri”, ketika kita kembali kepada fitrah, untuk kemudian senantiasa berbuat dan bersikap penuh kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi kita karena jarak kita telah kembali begitu dekat dengan-Nya ataukah sebaliknya kita kembali kepada rutinitas kehidupan yang semakin menjauhkan kita dari-Nya?

Seandainya kita merasa termasuk kelompok yang pertama, maka kita adalah orang yang sebenar-benarnya telah “aidin wal faizin” pada bulan syawal ini, yaitu golongan yang telah kembali kepada Allah, kembali kepada fitrah kesucian, berada dekat kepada Rabbnya. Dan kita lah orang yang sebenar-benarnya telah mencapai kemenangan di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam.

Do'a Penawar Hati Yang Sedih Dan Duka

" Ya Allah, Sesungguhnya aku adalah hambaMU, anak hambaMu (Adam) dan anak Hamba perempuanMU (Hawa). Ubun-ubunku ditanganMu, hukumanMu jatuh kepadaku, qhadaMu kepadaku adalah adil. Aku mohon kepadaMu dengan setiap nama yang telah Engkau gunakan untuk diriMu, yang Engkau turunkan dalam KitabMu, Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhlukMu atau yang Engkau khususkan untuk diriMu dalam ilmu ghaib di sisiMu. hendaklah Engkau jadikan Al Quran sebagai penentram hatiku, cahaya di dadaku, pelenyap duka dan kesedihanku" (HR. Ahmad 1/391 dan Al Albani menyatakan shahih).

Friday, October 20, 2006

Dari Ramadhan Menuju Syawal

(Menjaga Kesinambungan Ibadah)

Oleh: Nasrullah Jasam, MA.

Bulan puasa yang sedang kita jalani ini sebentar lagi akan berakhir, bulan yang penuh berkah akan segera meninggalkan kita semua, bulan yang disebut oleh salah seorang pujangga Arab sebagai bulan revolusi karena semua aktivitas manusia berubah seratus delapan puluh derajat di bulan itu. Jika di bulan-bulan lain kita sarapan di pagi hari kemudian disusul makan siang dan setelah itu ditutup dengan makan malam, maka pada bulan puasa semuanya berubah total, kita hanya makan saat sahur dan saat berbuka puasa, waktunya pun hanya menjelang subuh sampai terbenamnya matahari. Ditambah lagi jika pada bulan-bulan biasa waktu kita dihabiskan dengan hal-hal seperti menonton televisi, bicara ngalor-ngidul, maka pada bulan puasa kita habiskan dengan membaca Al-Qur'an, beri'tikaf di Masjid, shalat tarawih berjamaah dan mungkin juga dengan shalat tahajjud.

Dengan demikian nyatalah bahwa bulan ramadhan bagi seorang muslim adalah bulan penggemblengan dan penempaan diri selama 29/30 hari. Dirinya ditempa sedemikian rupa diajarkan untuk bisa menguasai diri sehingga kelak mampu menghadapi 11 bulan yang akan ia jalani setelahnya. Pada 11 bulan itulah ujian yang sesungguhnya, dimana berhasil tidaknya puasa seseorang bisa dilihat dari ada atau tidaknya perubahan kearah yang lebih baik pada diri orang itu. Jika bulan ramadhan adalah bulan yang sangat agung, bulan yang penuh kebaikan, maka sesungguhnya seluruh bulan adalah merupakan kesempatan bagi kita untuk berbuat baik dan membekali diri untuk di hari akhirat kelak. Ibadah bukan hanya dilakukan di bulan ramadhan saja atau bulan-bulan tertentu tetapi hidup ini seluruhnya adalah ibadah, Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hijr ayat 99 "Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu kematian".

Jadi sudah merupakan keharusan bagi kita untuk melanjutkan segala bentuk amal ibadah yang kita lakukan dengan giat dan penuh semangat pada bulan ramadhan baik itu ibadah shalat, puasa, berdzikir, shadaqoh dan ibadah-ibadah lainnya pada bulan berikutnya, karena sesungguhnya salah satu ciri diterimanya amal yang baik adalah diikuti dengan amal yang baik lagi.

Sekarang kita telah tiba di penghujung ramadhan dan akan segera menyambut bulan Syawal, kita tidak ingin amal ibadah kita terhenti dengan berakhirnya ramadhan, untuk itu kita harus terus berupaya memelihara "identitas takwa" yang mudah-mudahan kita dapatkan di bulan ramadhan ini, karena memang demikianlah sesungguhnya tujuan puasa.

Memelihara Dan Mempererat Tali Persaudaraan

Ada sebuah tradisi yang sangat baik di negara kita yang mungkin jarang kita temui di negara-negara lain, bahkan di Maroko pun saya tidak menemui tradisi ini, yaitu setiap setelah melaksanakan shalat ied orang muslim Indonesia selalu bersalam-salaman satu sama lain dengan penuh haru dan diiringi dengan permintaan maaf, hal ini biasanya dilakukan tidak cukup dengan hanya di Masjid saja setelah shalat ied tapi juga dilanjutkan dengan saling mengunjungi satu sama lain dengan membawa anggota keluarga, dan tukar-menukar makanan.

Disalah satu daerah di Jawa Tengah tepatnya kabupaten Banyumas, penduduknya memiliki tradisi membuat ketupat khas lebaran yang mereka sebut ketupat udhar luwar. Ketupat ini dirasa paling mewakili pengahayatan akan makna lebaran. Udhar luwar berarti lepas atau bebas, yaitu perasaan lepas dari berdosa terhadap Allah SWT karena telah melaksanakan puasa selama sebulan penuh juga merasa bebas dari rasa dengki, iri, dan dendam terhadap manusia. Semangat semacam inilah yang tersimpan dalam ketupat udhar luwar itu, oleh karenanya lebaran tidak akan lengkap jika tidak ada udhar luwar seperti tidak lengkapnya seseorang yang mengakhiri ramadhan karena dalam dirinya masih ada perasaan dengki, iri, dan dendam terhadap manusia.

Dengan demikian lebaran bisa dijadikan moment yang tepat untuk membangun rekonsiliasi. Sebagai manusia kita yakin pasti memiliki kesalahan terhadap orang lain baik disengaja atau tidak, mungkin kita pernah berbicara yang dapat menyinggung perasaan orang lain meskipun niatnya tidak demikian atau mungkin juga kita pernah bersikap kurang simpati sehingga menimbulkan rasa tidak suka terhadap orang lain. Kita yakin sebagai manusia yang tidak akan luput dari kealpaan, hal tersebut pernah kita lakukan. Mungkin di bulan-bulan lain kita merasa segan untuk sekedar meminta maaf, maka di saat lebaranlah yang paling tepat untuk melakukan itu. Dalam kontek ke-Indonesia-an, ini bisa tercermin dengan tradisi saling mengunjungi seperti telah disinggung diatas, dengan saling mengunjungi berarti menyambung kembali komunikasi yang pernah terputus dan merajut kembali tali persaudaraan. Bagi kita masyarakat Indonesia yang ada di Maroko mungkin rekonsiliasi ini bisa kita lakukan saat shalat ied berjamaah di KBRI dan acara-acara open house di kediaman para diplomat, meskipun selama ini kita sering bertemu baik saat acara berbuka puasa bersama ataupun acara-acara lainnya, tetapi hari lebaran tentunya memiliki "rasa" yang lain.

Perlu diingat, jika puasa bertujuan untuk membentuk manusia bertakwa, maka salah satu ciri orang bertakwa yang disebutkan Allah SWT dalam Al-Qur'an surat Ali 'Imran ayat 134 adalah "Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang".

Sungguh sangat ideal jika kedua sifat ini ada dalam diri seseorang, tidak mudah marah dan jika marah sekalipun akan mudah memberikan maaf kepada orang yang berbuat salah. Mungkin banyak orang yang bisa menahan marah tapi berapa banyak yang mudah memaafkan atau sebaliknya mungkin banyak orang yang mudah untuk memberikan maaf tapi berapa banyak yang bisa menahan amarahnya, oleh karena itu orang yang bertakwa adalah orang yang memiliki dua sifat ini di dalam dirinya.

Puasa Sunah Syawal

Seperti sudah disinggung diatas bahwa salah satu ciri diterimanya amal kebaikan ialah dengan diikuti oleh amal kebaikan selanjutnya, setelah Allah mengaruniakan kita dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah, Allah SWT memberikan kepada kita amalan lain di bulan Syawal yaitu berupa puasa sunah Syawal selama 6 hari, puasa sunah ini memiliki ganjaran yang sangat luar biasa, dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW Bersabda "Barang siapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka seperti halnya puasa sepanjang tahun".

Dari hadist diatas jelas sekali bahwa seorang muslim yang telah berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan kemudian dilanjutkan dengan mengerjakan puasa sunah 6 hari di bulan Syawal (selain tanggal 1 Syawal karena puasa di hari tersebut hukumnya haram) maka pahalanya seperti puasa sepanjang tahun. Dalam hal ini Imam Nawawi menjelaskan : hal tersebut dikarenakan setiap amal kebajikan mendapatkan ganjaran 10 kali lipat, puasa satu bulan Ramadhan sama dengan puasa 10 bulan, puasa 6 hari di bulan Syawal sama dengan puasa 60 hari (2 bulan), jadi jika dijumlah puasa satu bulan Ramadhan plus 6 hari bulan Syawal sama dengan puasa setahun. Tapi terlepas dari angka-angka yang dijelaskan oleh Imam Nawawi tadi sesungguhnya puasa Syawal banyak memiliki hikmah, antara lain:

menunjukkan bahwa umat Muhammad meskipun usianya secara nominal pendek dibanding umat-umat terdahulu tetapi memiliki amal ibadah dan ganjaran yang banyak sehingga jika dipergunakan dengan sebaik-baiknya secara kualitas akan melebihi umur umat nabi-nabi terdahulu.

Jika hal-hal yang kurang dalam shalat fardhu bisa ditambal dengan sholat sunnah rawatib, demikian juga dengan puasa ramadhan, mungkin dalam mengerjakan puasa ramadhan ada hal hal yang kurang atau berbuat sesuatu yang bisa mengurangi puasa maka hal tersebut bisa ditambal oleh puasa sunnah Syawal. Karena amalan sunnah bisa menyempurnakan amalan fardlu.

Puasa sunnah Syawal adalah sarana untuk menumbuh kembangkan iman serta memperkokoh taqwa yang merupakan tujuan puasa seperti yang Allah firmankan Wahai orang orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas ummat ummat sebelum kamu supaya kamu sekalian menjadi orang orang yang bertaqwa

Sesungguhnya membiasakan diri untuk berpuasa setelah melaksanakan puasa Ramadhan adalah salah satu ciri diterimanya puasa Ramadhan. Karena seperti disebutkan diatas tadi bahwa salah satu cirri diterimanya amal kebajikan adalah melanjutkannya dengan amal kebajikan lain.

Demikianlah betapa banyak anugerah Allah kepada para hambanya, Anugerah Allah tidak terbatas pada bulan Ramadhan saja tetapi juga di bulan bulan lain, oleh karena itu jika ingin berbuat baik tidak perlu menunggu Ramadhan tahun depan tapi sejak berakhirnya Ramadhan tahun ini sampai Ramadhan tahun depan kita bertekad untuk selalu berusaha mempertahankan nilai nilai puasa kita, berhasilnya dan tidak nya puasa kita tergantung sejauh mana pengaruh ibadah puasa tersebut dalam kehidupan kita di luar Ramadhan.

Kita sepakat bahwa setiap perintah Allah SWT. Kepada hamba Nya seperti sholat, haji, zakat Mengandung hikmah yang semuanya bertujuan untuk membentuk muslim yang kamil, begitu juga dengan ibadah puasa, jika kita melaksanakannya dengan penuh keimanan dan kekhusyu'an maka puasa tersebut akan memberikan ekses yang baik bagi kita tapi sebaliknya jika tanpa keimanan dan penghayatan Rasul menegaskan : "berapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapatkan apa2 dari puasanya kecuali lapar dan haus"

Tentunya kita tidak ingin puasa yang kita lakukan sia sia. Semoga Allah SWT. Menerima semua amal ibadah kita di bulan Ramadhan dan semoga mempertemukan kita dengan Ramadhan yang akan datang….Amiiin

Friday, October 13, 2006

Keutamaan dan hikmah ibadah I’tikaf

Oleh: Muhammad Nasir


Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, segala puji kepunyaan Allah, dan dunia-langit serta isinya juga adalah kepunyaan Allah. Shalawat dan salam dengan tiada hentinya mari kita haturkan kepada nabi Muhammad SAW, utusan terakhir dan pilihan Tuhan yang uswatun hasanah dan berakhlak mulia. Tidak lupa juga, doa keselamatan kita haturkan kepada para sahabat, tabiin, tabit-tabiin, ulama-ulama dan seluruh kaum muslimin. Semoga dalam proses ibadah puasa yang sedang kita jalani ini benar-benar menjadi ajang latihan sehingga keluar menjadi "alumni ramadhan" yang berkualitas. Latihan beribadah yang merupakan kesempatan emas yang tinggal 16 hari lagi mari kita evaluasi, cek dan renungkan apa yang kurang, bagaimana agar lebih efektif, efisien dan menghasilkan sesuatu yang berharga bagi kita kaum muslimin. Dalam buletin jumat kali ini.

Itikaf secara bahasa adalah tinggal di masjid dengan niat tertentu karena taat kepada Allah SWT. Itikaf yang hukumnya sunnah muakkadah adalah bagian ibadah di bulan ramadhan. Azam berkata : sebetulnya disunahkan bagi kaum muslimin semampu dan semaksimalnya mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah guna meminta pahalaNya dan mengikuti jejak Rasulallah-Nya, karena beliau telah terus-menerus melaksanakan itikaf di setiap bulan ramadhan. Dalilnya adalah pertama, telah sepakat para ulama bahwasannya itikaf itu telah disyariatkan. Kedua, dari Aisyah RA bahwasannya nabi SAW beritikaf di sepuluh terakhir bulan ramadhan, itu dilakukan sampai akhir hayatnya. Sepeninggalan nabi, istri-istrinya dan para sahabat melanggengkan ibadah itikaf ini (HR Bukhari Muslim).

Ibadah kepada Allah, apapun macam dan namanya mempunyai aturan dan petunjuk sebagaimana yang disuritauladankan nabi Muhammad SAW. Agar ibadah itikaf ini sesuai apa yang diharapkan, maka paling tidak kita mesti mengikuti langkah-langkah yang dicontohkan nabi. Langkah-langkah itu adalah

(1) Rukun itikaf, ini terdiri dari: Satu, niat adalah sesuatu yang urgen dan asasi karena kekokohan niat akan berimplikasi atau berefleksi berbanding lurus dengan niat itu sendiri. Segala rencana dan tujuan di dunia ini tergantung niat, makanya Rasuluallah SAW bersabda: "Sesungguhnya segala perbuatan atau amal itu tergantung pada niat....(HR. Bukhari). Kedua, berdiam di masjid, ini sesuai dengan firman Allah: "....Dan telah Kami perintahkan kepada Ibarahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang itikaf, yang ruku dan yang sujud". (QS. Al-Baqarah 125).

(2) Tempat dan waktu. Tempatnya seperti disinggung di atas adalah di masjid, adapun waktunya adalah sepuluh terakhir bulan ramadhan, meski demikian boleh juga dari awal sampai akhir ramadhan.

(3) Etika itikaf. Itikaf mempunyai etika, disunahkan bagi orang yang beritikaf memegang etika ini agar amalannya diterima. Tatkala orang tersebut menjaga etika maka pahala akan diperoleh dari Allah SWT. Disunahkan juga kepada orang yang beritikaf menyibukkan diri dengan membaca Al-Quran, berdoa dan berdikir kepada Allah, menjauhi perkataan dan perbuatan yang tidak berguna dan ketaatan-ketaatan lainnya. Hal yang penting lagi adalah jangan dijadikan ajang ngerumpi yang membuang-buang waktu. Begitu juga ada orang yang meninggalkan pekerjaannya demi melaksanakan itikaf, dalam hal ini boleh apabila telah mendapatkan izin dari istri misalnya. Hanya saja menjadi kurang bijak apabila meninggalkan tanggung jawabnya, misalnya dengan meninggalkan pekerjaan. Karena menafkahi istri wajib dan itikaf hukumnya sunah, maka dahulukan menafkahi istri.

(4) Larangan itikaf. Pertama, itikaf gugur apabila keluar dari masjid kecuali untuk buang air kecil, bersuci, makan dan kebutuhan lainnya. Kedua, mencampuri wanita, firman Allah SWT : "...... janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beritikaf dalam masjid....." (Al-Baqarah 187). Ketiga, apabila perempuan yang beritikaf haid atau nifas maka wajib baginya keluar dari masjid untuk menjaga kebersihan masjid. Keempat, wanita yang sedang beritikaf yang ditinggal suami meninggal dunia maka menunaikan ibadahnya adalah di luar mesjid. Keenam, orang murtad tidak sah itikafnya.

Pendidikan.

Nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam itikaf. Pertama, sosialisasi definisi ibadah secara universal. Itikaf mengoriginalkan kepada yang melakukannya definisi ibadah akan hak Allah Azza wa Jalla, dimana manusia diciptakan tiada lain untuk beribadah, firmanNya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mangabdi kepada-Ku. (QS: Adz-Dzaariyat 56), dimana manusia telah menghibahkan diri dan waktu semuanya untuk ibadah.

Kedua, mendapatkan lailatul qodar, yaitu salah satu tujuan dari itikafnya Rasulallah SAW dimana beliau memulai itikafnya di awal ramadhan kemudian memasuki pertengahan guna mendapatkannya. Tatkala beliau mengetahui bahwasannya lailatul qodar di sepuluh terakhir ramadhan, maka beliau hanya beritikaf di sepuluh terakhir itu.

Ketiga, membiasakan tinggal di masjid. Orang yang beritikaf diharuskan tinggal di masjid dengan waktu yang ditentukan. Terkadang orang yang beritikaf secara kemanusiaan merasa tidak betah di permualaan itikaf, akan tetapi rasa tidak betah ini dengan cepat akan jungkir balik secara pembelajaran dimana jiwa seorang muslim akan merasakan nyaman dan tumaninah berdiam di masjid.

Keempat, lebih jauh pentingnya tinggal/itikaf di masjid berimplikasi pada: a-Orang yang mencintai tinggal di masjid dan mengetahui kapasitas rumah Allah, dimana ini mempunyai nilai di sisiNya; yaitu golongan yang dilindungi Allah di hari yang tidak ada lindungan kecuali lindunganNya. b-Orang yang tinggal di masjid sambil menunggu shalat, menunggunya sama dengan pahala mengerjakan shalat dan malaikat meminta ampunan kepada Allah untuknya. Nabi SAW bersabda: "Sesungguhnya malaikat mendoakan kalian selama di masjid dan dalam keadaan suci; Ya Allah ampunilah dan kasihanilah......(HR. Bukhari). c-Jauh dari kehidupan mewah dan zuhud dalam urusan dunia. d-Mengenyahkan kebiasaan-kebiasaan yang non produktip. e-Pembelajaran sabar yang terus-menerus, sabar dari mengekang diri, makanan, istri, kasur empuk dan banyak lagi.


Tujuan itikaf

Tujuannya antara lain untuk mendapatkan lailatul qadar, bersama dengan Allah Azza wa Jalla dan sebisa mungkin sedikit hubungan dengan banyak manusia sehingga hatinya jinak dengan Allah SWT, memperbaiki hati, memaksimalkan untuk ibadah: membaca Al-Quran, shalat, berdoa dan berdikir, menjaga kualitas puasanya dari hawa nafsu, meminimalisir dalam keduniaan dan mampu berinteraksi dengan apa adanya.

Universitas ruhani tertinggi

Di dunia pesantren dikenal nama tirakat, yaitu menjalani kehidupan dengan sesederhana mungkin. Kata tirakat bahasa tempatan yang pada mulanya adalah tarekat. Itikaf yang sesuai dengan aturan akan menghasilkan pribadi-pribadi tanggguh dan unggul. Kita ambil contoh kecerdasan emosional/akhlak ini menempati point paling tinggi daripada cara berpikir dan adat bawaan seseorang. Seperti baru-baru ini pemilihan hakim agung dari 49 orang calon yang terjaring hanya beberapa orang, yang lainnya tidak masuk kategori karena cacat akhlak. Jadi disini terlihat sekali biasnya nilai akhlak sangatlah penting bahkan mempunyai skor 35 point, lainnya 20-an.

Madhab falsafah juga menyinggung masalah ruhani ini, dimana hakekat tertinggi manusia ditentukan oleh akhlaknya, artinya sehebat apapun orang itu bila ahklaknya minus tidak mustahil akan lebih hina daripada hewan. Memang tidak mudah untuk mencapai maqom itu (universitas ruhani tertinggi) dan memang tidak sembarang orang bisa melakukan itikaf dengan baik dan benar. Mudah di teori, butuh perjuangan dan kesabaran dalam tataran praktek. Tapi bukan tidak mungkin apabila kita sering riyadhah latihan sedikit demi sedikit akan mencapai maqomnya. Riyadhah yang intensif juga tidak ada artinya kalau makanan yang kita makan dari barang haram. Alangkah dahsyatnya apabila zat halal menyatu dan bertemu dengan zat/nilai-nilai yang maha luhur dari Tuhan.

Dengan melakukan itikaf yang baik dan benar seperti diterangkan di atas, seorang mutakif akan mendapatkan hikmah dan keutaman tentunya. Semoga kita meraih menejmen qalbunya ala Rasul, amien. Wallahu Alamu Bishawab.

Saturday, October 07, 2006

Nuzul Al-Quran (Turunnya Al-Quran)

Oleh : Rachmat Morado

1- Pembagian turunnya Al-Quran

a. Turunnya seluruh Al-Quran dalam satu waktu (daf’ah wahidah).

Maksudnya adalah turunnya seluruh Al-Quran dari lauh mahfuzh (papan taqdir) dalam satu waktu ke langit dunia. Turunnya Al-Quran dengan cara ini turun pada 10 akhir bulan Ramadhan yang kita kenal dengan Lailatul Qadar (malam penghargaan/ kemuliaan). Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Quran pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apa malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun Malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu kesejahteraan sampai terbitnya fajar”.

Qadhi Iyyadh mengatakan sebagaimana dikutip oleh Imam Nawawi dalam Syarah Muslim bahwa lailatul qadar terjadi setiap tahun dari turunnya ayat ini pada zaman Rasulullah di hari 10 akhir bulan ramadhan sampai hari kiamat nanti. Dalilnya sabda Rasulullah SAW: “Carilah lailatul qadar pada hari 10 akhir bulan ramadhan”.

b. Turunnya Al-Quran secara berangsur-angsur (munajjaman).

Maksudnya adalah turunnya Al-Quran ayat per-ayat atau surat per-surat dalam waktu 23 tahun: yaitu masa diutusnya Rasulullah, Al-Quran turun secara berangsur-angsur dari langit dunia kepada Rasulullah SAW. Jumhur (kebanyakan) ulama mengatakan bahwa awal surat turun kepada nabi Muhammad SAW adalah surat Al-‘Alaq, ayat satu sampai lima yang artinya: “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang maha Pemurah. Yang mengajar dengan perantaraan qalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya".

Surat Al-‘Alaq ini turun pada hari senin malam 17 ramadhan. Berarti kita sekarang memperingati awal turunnya Al-Quran kepada nabi Muhammad SAW.

2- Keutamaan Al-Quran

Al-Quran sebagai Kitab Suci bagi orang Islam mempunyai banyak keutamaan. Diantaranya:

a. Al-Quran adalah kalam (perkataan) Allah.

Itu berarti perkataan yang paling benar dan tidak ada keraguan sedikitpun didalamnya. Allah berfirman: ”Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari perkataan Allah? ”( QS;An-Nisa 87,122).

b. Petunjuk dan kasih sayang (rahmat) bagi orang yang bertakwa.

Allah berfirman: ”Sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa”( QS: Al-Baqarah 2). Dalam ayat lain “Sebagai petunjuk dan kasih sayang bagi orang-orang yang beriman”( QS : Yunus 57). Kasih sayang dalam arti tidak mau menyia-nyiakan hambanya dan jatuh dalam kesesatan.

c. Obat dan penenang hati.

Allah berfirman: ”Dan Kami turunkan dari Al-Quran sesuatu yang mengobati dan kasih sayang bagi orang yang beriman”( QS: Al-Isra 82).

Dalam ayat lain Allah befirman: ”Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu mauizha (nasihat) dari Tuhanmu dan Penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman”( QS : Yunus 57).

d. Al-Quran mencakup segala sesuatu.

Allah berfirman: ”Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini (Al-Quran), kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan”( QS: Al-An’am 38). Maksudnya Al-Quran mencakup hukum (halal dan haram), kisah, berita gaib, nasihat-nasihat, perumpamaan-perumpaan, bahkan mencakup kaidah-kaidah ilmiyah yang tetap (pasti). Seperti teori yang mengatakan bahwa manusia semakin berada jauh di langit semakin kekurangan oksigen. Allah berfirman “Barang siapa yang kehendaki untuk diberi petunjuk maka akan tenangkan hatinya dan barang siapa yang kehendaki untuk disesatkan maka akan jadikan hatinya sempit seperti dia ketika naik ke langit QS:Al-An’am 125.

Allah juga berfirman: ”Dan Kami turunkan kepadamu Muhammad Kitab (Al-Quran) sebagai penjelas segala sesuatu”( QS: An-Nahl 89).

Ini adalah sebagian keutamaan Al-Quran. Banyak lagi keutamaan-keutamaan lain yang belum teruraikan.

3- Sikap Muslim terhadap Al-Quran

a- Membaca Al-Quran.

Rasulullah SAW bersabda: ”Bacalah Al-Quran maka sesungguhnya Al-Quran akan menjadi pemberi syafaat untuk ahlinya (pembacanya) di hari kiamat. Beliau juga bersabda: “ Akan dikatakan kepada Ahli Al-Quran di hari kiamat: Bacalah Al-Quran dan naiklah tingkatan-tingkatan (tangga-tangga) surga serta bacalah dengan tartil (membaca dengan cepat dan memperhatikan hukum bacaan Al-Quran) sebagaimana kamu membacanya di dunia karena sesungguhnya kedudukanmu berada di akhir ayat yang kamu baca.

b- Menghafal Al-Quran.

Wajib bagi orang Muslim untuk menghafal Al-Quran baik seluruhnya atau sebagiannya. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya orang yang tidak ada didalam hatinya sedikitpun dari Al-Quran seperti rumah yang roboh”.

c- Tadabbur Al-Quran.

Artinya merenungi kandungan Al-Quran ayat per-ayat dengan tujuan memberikan protect diri dari segala apa yang dilarang . Allah Berfirman: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran, atau hati mereka telah terkunci ”( QS:Muhammad 24).

Allah berfirman dalam ayat lain: ”Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran?, Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”( QS:An-Nisaa 82).

d- Mengamalkan Al-Quran.

Setelah membaca, menghafal dan mentadabbur Al-Quran langkah terakhir yang harus ditempuh adalah mengamalkan Al-Quran. Dengan mengamalkan Al-Quran berarti mengamalkan ajaran islam itu sendiri. Aisyah berkata: ”Akhlak Rasulullah SAW adalah Al-Quran”. Al-Quran yang kita pelajari dan baca tidak akan lengkap kecuali mengamalkannya karena Al-Quran di hari kiamat bisa menjadi penolong atau penghujat kita, dalam artian Al-Quran yang kita baca, kita fahami dan tidak kita amalkan akan menjeremuskan kita ke neraka. Rasulullah bersabda: “Dan Al-Quran akan jadi penolong kamu atau penghujat kamu”.

Empat sikap ini harus dimiliki oleh orang Islam agar Al-Quran selalu menjadi panutan dan tuntunannya. Memperingati nuzul Al-Quran berarti memperingati diri kita terhadap Al-Quran. Sejauh mana kita telah membaca Al-Quran, sejauh mana kita telah menghafal Al-Quran, sejauh mana kita mentadabburi Al-Quran, sejauh mana kita mengamalkan Al-Quran. Memperingati nuzul Al-Quran berarti men-introspeksi diri, apakah perbuatan kita sesuai dengan apa yang diperintahkan dalam Al-Quran. Marilah tingkatkan iman dan sikap kita terhadap Al-Quran semoga juga kita menjadi orang yang diridhai. Wallahu’alam bisshawab.

Friday, September 29, 2006

Hikmah Puasa Ramadhan

Oleh: Med Hatta
Sebagian hikmah puasa bisa dilihat dalam firman Allah yang artinya: "Agar kalian bertakwa."

Takwa adalah buah yang diharapkan dan dihasilkan oleh puasa. Buah tersebut akan menjadi bekal orang beriman dan perisai baginya agar tidak terjatuh dalam jurang kemaksiatan. Seorang ulama sufi pernah berkata tentang pengaruh takwa bagi kehidupan seorang muslim; “Dengan bertakwa, para kekasih Allah akan terlindungi dari perbuatan yang tercela, dalam hatinya diliputi rasa takut kepada Allah sehingga senantiasa terjaga dari perbuatan dosa, pada malam hari mengisi waktu dengan kegiatan beribadah, lebih suka menahan kesusahan daripada mencari hiburan, rela merasakan lapar dan haus, merasa dekat dengan ajal sehingga mendorongnya untuk memperbanyak amal kebajikan". Takwa merupakan kombinasi kebijakan dan pengetahuan, serta gabungan antara perkataan dan perbuatan.

Puasa Ramadhan akan membersihkan rohani kita dengan menanamkan perasaan kesabaran, kasih sayang, pemurah, berkata benar, ikhlas, disiplin, terhindar dari sifat tamak dan rakus, percaya pada diri sendiri dan sebagainya.

Meskipun makanan dan minuman itu halal, kita menahan diri untuk tidak makan dan minum dari semenjak fajar hingga terbenamnya matahari, karena mematuhi perintah Allah. Begitu juga isteri kita sendiri, kita tidak mencampurinya ketika masa berpuasa demi mematuhi perintah Allah SWT.

Ayat puasa itu dimulai dengan firman Allah: "Wahai orang-orang yang beriman" dan diakhiri dengan: "Mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertakwa". Jadi jelaslah bagi kita bahwa puasa Ramadhan berdasarkan keimanan dan ketakwaan. Untuk menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah kita diberi kesempatan selama bulan Ramadhan: melatih diri dari menahan hawa nafsu, makan dan minum, mencampuri isteri, menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia seperti berkata bohong, membuat fitnah dan tipu daya, merasa dengki dan khianat, memecah belah persatuan umat, dan berbagai perbuatan jahat lainnya. Rasullah SAW bersabda:"Bukanlah puasa itu hanya sekedar menghentikan makan dan minum tetapi puasa itu ialah menghentikan omong kosong dan kata-kata kotor." (HR. Ibnu Khuzaimah).

Beruntunglah mereka yang dapat berpuasa selama bulan Ramadhan, karena puasa itu bukan saja dapat membersihkan ruhani manusia, tapi juga akan membersihkan jasmani manusia itu sendiri, puasa sebagai alat penyembuh yang baik. Semua alat pada tubuh kita senantiasa digunakan, boleh dikatakan alat-alat itu tidak pernah istirahat selama 24 jam. Alhamdulillah dengan berpuasa kita dapat mengistirahatkan alat pencernaan lebih kurang selama 12 jam setiap harinya. Oleh karena itu dengan berpuasa, organ dalam tubuh kita dapat bekerja dengan lebih teratur dan efektif.

Perlu diingat, ibadah puasa Ramadhan akan membawa faedah bagi kesehatan ruhani dan jasmani kita apabila dilaksanakan sesuai dengan panduan yang telah ditetapkan, jika tidak, maka hasilnya tidak seberapa malah mungkin ibadah puasa kita sia-sia belaka.

Allah SWT berfirman "Makan dan minumlah kamu dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (QS. Al-A'raf:31)

Nabi SAW juga bersabda "Kita ini adalah kaum yang makan apabila merasakan lapar, dan makan dengan secukupnya (tidak kenyang)."

Tubuh kita memerlukan makanan yang bergizi sesuai keperluan tubuh kita. Jika kita makan berlebih-lebihan sudah tentu ia akan membawa mudarat kepada kesehatan kita. Bisa menyebabkan badan menjadi gemuk, efek lainnya adalah mengakibatkan sakit jantung, darah tinggi, penyakit kencing manis, dan berbagai penyakit lainnya. Dengan demikian maka puasa bisa dijadikan sebagai media diet yang paling ampuh dan praktis.

Puasa tidak diwajibkan sepanjang tahun, juga tidak dalam waktu yang sebentar melainkan pada hari-hari yang terbatas, yaitu hari-hari bulan Ramadan, dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Karena, jika puasa diwajibkan secara terus menerus sepanjang tahun atau sehari semalam tanpa henti, tentu akan memberatkan. Begitu juga jika hanya untuk waktu separuh hari, tentu tak akan memiliki pengaruh apa-apa, akan tetapi puasa diwajibkan untuk waktu sepanjang hari mulai dari terbit fajar hingga matahari terbenam, dan dalam hari-hari yang telah ditentukan.

Selain keringanan dalam masalah waktu, Allah juga membuktikan kasih sayang-Nya kepada hamba dengan memberikan keringanan-keringanan yang lain, di antaranya kepada: orang sakit (yang membahayakan dirinya jika berpuasa) dan orang yang menempuh perjalanan jauh (yang memberatkan dirinya jika melaksanakan puasa) diperbolehkan untuk berbuka dan menggantinya pada hari yang lain, sesuai dengan jumlah puasa yang ia tinggalkan.

Dengan kalam-Nya Allah telah menegaskan kepada manusia, keutamaan puasa di bulan suci Ramadhan sebagai bulan keberkahan, dimana Allah memberikan nikmat sekaligus mukjizat yang begitu agung kepada hamba-Nya berupa turunnya Al-Qur'an.

Ayat-ayat Al-Qur'an juga menjelaskan betapa Tuhan begitu dekat dengan hambanya, Ia selalu menjawab do'a mereka di mana dan kapan pun mereka berada, tidak ada pemisah antara keduanya. Maka sudah selayaknya bagi seorang muslim, untuk selalu berdo'a, memohon ampunan kepada Tuhannya, beribadah dengan tulus-ikhlas, beriman, dan tidak menyekutukan-Nya, dengan harapan Allah akan mengabulkan semua do'a dan permintaannya.

Diriwayatkan bahwa sekumpulan orang pedalaman bertanya kepada Nabi SAW : "Wahai Muhammad! Apakah Tuhan kita dekat, sehingga kami bermunajat (mengadu dan berdoa dalam kelirihan) kepada-Nya, ataukah Ia jauh sehingga kami menyeru (mengadu dan berdoa dengan suara lantang) kepada-Nya?" Maka turunlah ayat: "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. (QS. Al-Baqarah/2: 186)

Allah telah memberikan beberapa pengecualian bagi umat Muhammad dalam menjalankan ibadah puasa, seperti dibolehkannya seorang suami untuk memberikan nafkah batin kepada isterinya pada malam bulan Ramadhan, kecuali pada waktu I'tikaf di masjid, karena waktu tersebut adalah waktu di mana manusia seharusnya mendekatkan diri kepada Allah tanpa disibukkan dengan perkara yang lain.

Diantara hikmah puasa yang dapat dicatat juga adalah sebagai wijaa, perisai atau pelindung:
Rasulullah SAW menyuruh orang yang kuat "syahwatnya" dan belum mampu untuk menikah agar berpuasa, menjadikannya sebagai wijaa (memutuskan syahwat jiwa) bagi syahwat ini, karena puasa eksistensi dan subtansialnya adalah menahan dan menenangkan dorongan kuatnya anggota badan hingga bisa terkontrol serta seluruh kekuatan (dorongan dari dalam) sampai bisa taat dan dibelenggu dengan belenggu puasa. Telah jelas bahwa puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menjaga anggota badan yang nyata/dhahir dan kekuatan bathin. Oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda "Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba'ah (mampu menikah dengan berbagai persiapannya) hendaklah menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa' (pemutus syahwat) baginya". (HR. Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud).

Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi (seperti menahan syahwat dsb), dan neraka diliputi dengan syahwat. Jika telah jelas demikian, sesungguhnya puasa itu menghancurkan syahwat, mematahkan tajamnya syahwat yang bisa mendekatkan seorang hamba ke neraka, puasa menghalangi orang yang berpuasa dari neraka. Oleh karena itu banyak hadits yang menegaskan bahwa puasa adalah benteng dari neraka, dan perisai yang menghalangi seseorang darinya.

Bersabda Rasulullah SAW "Tidaklah seorang hamba yang berpuasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim". (HR. Bukhari 6/35, Muslim 1153 dari Abu Sa'id Al-Khudry. Ada redaksi lain yaitu telah bersabda Rasulullah SAW : "tujuh puluh musim", yakni : perjalanan tujuh puluh tahun, demikian dijelaskan dalam kitab Fathul Bari 6/48).

Rasulullah SAW bersabda "Puasa adalah perisai, seorang hamba berperisai dengannya dari api neraka" (HR. Ahmad 3/241, 3/296 dari Jabir, Ahmad 4/22 dari Utsman bin Abil 'Ash. Ini adalah hadits shahih).

Dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda "Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah maka di antara dia dan neraka ada parit yang luasnya seperti antara langit dengan bumi".

Sebagian ulama telah memahami bahwa hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan puasa ketika jihad dan berperang di jalan Allah. Namun dhahir/redaksi hadits ini mencakup semua puasa jika dilakukan dengan ikhlas karena mengharapkan ridha Allah SWT, ini sesuai dengan apa yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam termasuk puasa di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits ini).
itulah beberapa hikmah yang bisa dipetik selama ramadhan, semoga bermanfa'at. wallahu'alambisshawab.