Saturday, December 16, 2006

SARIPATI KISAH ASHABUL KAHFI

Oleh : Syariful Hidayat

Ashabul kahfi merupakan sebuah cerita teladan yang disebutkan di dalam al-Quran pada surat al-Kahfi ayat 9 sampai dengan ayat 26 dari 110 jumlah ayatnya. Cerita ini mengkisahkan beberapa penghuni gua yang mengandung i’tibar dan pelajaran yang amat berguna bagi kehidupan manusia.

Cerita ini bermula dari sebuah kota, terletak di antara dataran luas yang sangat subur.Kebanyakan mata pencaharian penduduk negeri ini adalah bercocok tanam dan perkebunan dengan menanam pohon kurma, buah-buahan jeruk, anggur dan semangka. Sebagian penduduk yang lainnya beternak hewan seperti sapi, kambing, biri-biri dan onta, sehingga mereka hidup makmur, mereka makan hasil buminya dengan nikmat dan hidup damai sejahtera.

Agama yang dipeluk penduduk ini dan keyakinan mereka, sebagaimana penduduk negeri-negeri lain di dunia ini adalah bermacam-macam. Sebagian mereka ada yang beriman kepada Allah dan RasulNya, tetapi sebagian besar mereka adalah penyembah berhala, patung dan menyembelih hewan kurban untuknya.

Yang memerintah negeri yang subur nan makmur ini adalah seorang Raja yang lebih condong kepada agama berhala penyembah patung dan mengajak orang lain dengan paksa agar turut menyembahnya, bila tidak mengikuti kehendaknya, rakyat mengalami penyiksaan yang sangat kejam.

Keadaan dan kondisi ini telah berlangsung puluhan tahun lamanya di bawah kepemimpinannya, banyak diantara kamu muslimin mendapatkan siksaan yang luar biasa, sehingga tiada satu haripun bila ada berita yang sampai kepadanya tentang keberadaan seorang mukmin atau mukminah, pasti ditegakkan hukuman dengan menyiksanya atau menyembelihnya di depan umum, sehingga ia yakin benar dapat mencabut benih-benih iman dari dada penduduknya yang telah lama beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Dengan kondisi politik & sosial yang sangat menyudutkan kaum yang beriman kepada Allah inilah, masih ada beberapa orang yang beriman kepada Allah SWT secara sembunyi-sembunyi, karena mereka lebih takut kepada siksa Allah yang lebih kejam di hari kiamat kelak. Mereka dengan lantang penuh keberanian mendeklarasikan sikap untuk mengabaikan perintah pemimpin mereka. Mereka mampu menguasai diri, sebab mereka memiliki keoptimisan yang dibingkai ruh mas'uliyah (tanggung jawab), ruh isti'la (merasa tinggi) dan sosok kepemimpinan.
Sikap yang mereka lakukan adalah dengan tetap memegang teguh iman kepada Allah SWT dan mengucilkan diri pada sebuah gua sebagai tempat berlindung seraya berdoa : “Wahai tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami ini”.

Namun, kehendak Allah menginginkan lain, Allah menidurkan mereka dan menutup telinga mereka dari segala kebisingan. Lalu setelah 309 tahun (Qomariyah) lamanya, Allah kembali membangunkan mereka.

Akhirnya, terbukalah segala keajaiban setelah mereka terjaga, terlebih setelah salah satu diantara mereka meminta kawannya untuk membeli sesuatu untuk mengganjal perut yang kosong, mereka sadar, bahwa mereka berada di alam yang bertolak belakang dengan kenyataan lama, mereka berada di lingkungan masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama islam dan mereka yakin, bahwa mereka adalah pelaku sejarah yang dapat menambah keimanan mereka dan kaum mukminin semua.

Demikianlah akhirnya, sesuai dengan janji Allah SWT, bahwa : “Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik” (al-Kahfi : 30). Sehingga mereka pun bergabung menjadi bagian dari masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama islam.
***
Kita tahu, bahwa bukti dan tanda kekuasaan Allah begitu banyak dan menuntut untuk direnungi serta diambil pelajaran ('ibrah). Tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. Itu dipaparkan dalam berbagai bentuk dan cara, dimaksudkan agar manusia tidak bosan dan agar sadar serta segera mengakui kewahdaniyahan(keesaan)-Nya. Dan Ashabul kahfi adalah salah satu tanda kekuasaan Allah SWT. yang dipaparkan dalam bentuk kisah yang menarik dan patut direnungi, karena di dalamnya terdapat pelajaran bagi sejarah kehidupan manusia di muka bumi ini.

Barangkali kita harus sepakat, bahwa sesungguhnya sejarah manusia itu akan terulang dari masa ke masa, meskipun perbedaan waktu, tempat dan pelaku, namun substansinya akan tetap sama seperti yang telah terjadi sebelumnya.

Nah, Karena pentingnya memahami dan menyadari substansi kisah ini, Allah sendiri tidak menyebutkan siapa nama pelaku-pelakunya, sebagaimana Allah tidak menyebutkan juga jumlah dan kapan terjadinya secara pasti. Yang jelas tujuannya agar manusia mengambil pelajaran, kemudian menjalani kehidupan dengan hidayahNya. Tujuan seperti inilah yang juga melatarbelakangi sebagian besar mufassirin dalam menyikapi kisah ini, semisal Ibnu Katsir, At-Thabari dll.
***
Diantara saripati yang dapat kita ambil pelajaran dari kisah ashabul kahfi adalah : Tauhidullah (mengesakan Allah SWT). Menurut para Ulama, tauhid (mengesakan) kepada Allah SWT. terbagi menjadi tiga macam, pertama, tauhid al-Uluhiyah, ialah mengesakan Allah Ta’ala dalam beribadah, yaitu meyakini, bahwa beribadah itu hanya ditujukan kepada Allah dan karena-Nya semata.

Kedua : Tauhid ar-Rububiyah, ialah mengesakan Allah Ta’ala dalam perbuatan, yakni mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah lah sang maha pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta.

Ketiga : Tauhid al-Shifat, ialah mengesakan Allah Ta’ala dalam sifat-Nya. Artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Ta’ala dalam Dzat maupun Sifat.

Nah, pilihan para Ashabul kahfi untuk mengasingkan diri pada sebuah gua itu merupakan panggilan dari lubuk hati agar senantiasa dapat mempertahankan keyakinannya tentang islam, sekaligus menjalankan keyakinan itu pada tempat yang terhindar dari penglihatan manusia jelata. Sebab mereka yakin, bahwa penguasa yang sebenarnya adalah Allah SWT. bukan seorang raja yang sedang berkuasa di zamannya. Sebagaimana mereka juga sadar, bahwa segala keangkuhan sang raja, hanyalah gertakan sambal goreng yang dapat sirna dengan berlalunya zaman.

Pengasingan diri yang mereka lakukan, juga merupakan wujud pengorbanan untuk meninggalkan segala kenikmatan duniawi untuk tujuan ukhrawi. Mereka rela meninggalkan keluarga, harta dan tanah air demi menyelamatkan aqidah serta khawatir akan fitnah. Untuk itu bukan tidak mungkin kisah ini menjadi inspirasi bagi hijrah Rasulullah saw. Bersama Abu Bakar ra ke Madinah dan Hijrah pertama kaum muslimin ke Habsyah.

Pengasingan itu pula merupakan metodologi seorang rakyat menolak kebijakan pemimpinnya yang terbukti dengan kedzaliman & kerakusan akan kepemimpinan & kekuasaan. Tentunya, manakala jumlah ashabul kahfi mencukupi, gelombang reformasi pun pasti akan terjadi.

Dan terakhir, mengikuti kronologi kisah Ashabul Kahfi mengantar kita kepada satu titik tujuan utama kisah tersebut yaitu meyakinkan kepada umat manusia terhadap keimanan kepada hari kiamat, hari bangkit di alam mahsyar. Sebab dalam suatu riwayat, pada saat sebelum ashabul kahfi dibangkitkan, masyarakat setempat terpecah kepada dua kubu. Ada yang meyakini adanya hari bangkit di akhirat nanti dan ada yang tidak percaya sama sekali. Bagi seorang mukmin, aqidah ini merupakan sebuah aksiomatis yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Karena keimanan terhadap keduanya ini memacu kita untuk berbuat kebajikan selama di dunia dan menimbulkan rasa tanggung jawab yang tinggi dihadapan mahkamah Allah Swt.

Akhirnya, penggalan kisah ini adalah bagian pertama dari empat kisah lainnya yang terdapat dalam surah Al-kahfi. Semoga dengan kisah ashabul kahfi ini mendorong kita untuk mendalami dan mengkaji kisah-kisah selanjutnya yang terdapat di dalam al-Quran dan tentunya yang teramat penting adalah transformasi nilai ke dalam diri kita lewat skenario kisah tersebut, agar kita menjadi mukmin yang mendapat legalisasi keimanan yang benar dari Allah Swt.

Friday, December 08, 2006

Mencari Kebagagiaan

Dedy W Sanusi

Allah SWT Berfirman :

لإن شكرتم لأزيدنكم و لإن كفرتم إن عذابي لشديد

Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kami mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim, 7).

Tema kebahagiaan telah menjadi bahan pikiran para filosof jauh sebelum agama Islam datang. Ada yang mengatakan, Plato misalnya, kebahagiaan adalah kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang diperoleh dengan menjaga kebersihan jiwa dan menghiasinya dengan kualitas-kualitas terpuji, seperti kemulyaan, keberanian dan kearifan. Bagi kelompok ini, kelezatan material justru mencederai kebahagiaan. Karena kebahagiaan letaknya di jiwa, bukan di badan, maka kebahagiaan hakiki hanya dapat diperoleh ketika jiwa lepas dari badan, setelah kematian.

Ada juga yang mengatakan, sebagaimana Aristoteles, kebahagiaan adalah proses menuju kesempurnaan. Kebahagiaan yang mengendarai dua kendaraan ; badan dan jiwa. Kelezatan material, bagi kelompok ini, bisa dikondisikan untuk juga mendapatkan kelezatan immaterial, kelezatan jiwa. Menurut kelompok ini, sepanjang manusia hidup di dunia ini, berbuat baik, berpikir benar, terus berusaha mendapatkan sifat-sifat terpuji, baik untuk dirinya maupun keluarganya dan berusaha untuk membumikan perbuatan-perbuatan yang diridhai oleh Allah dalam masyarakatnya, maka orang ini adalah orang yang berbahagia.

Kelompok ini merinci kebahagiaan pada lima tempat : Pertama, kesehatan badan dan kelengkapan fungsi panca indera. Kedua, harta yang digunakannya untuk berbuat kebaikan. Ketiga, memiliki citra yang baik dihadapan orang lain, karena perbuatannya yang baik terhadap diri sendiri dan orang lain. Keempat, sukses dalam cita-citanya. Kelima, memiliki pikiran dan keyakinan yang benar dan lurus, baik dalam agamanya maupun urusan-urusan yang lain, selamat dari kesalahan dan kekeliruan dan pikiran-pikirannya menjadi rujukan orang lain dalam memutuskan segala sesuatu.

Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah dalam bukunya : al-Wabil as-Shayyib min al-Kalim at-Thayyib mengemukakan tiga cara untuk mendapatkan kebahagiaan. Menurut beliau, kehidupan ini tidak lepas dari tiga kondisi : pertama, kita mendapat kenikmatan. Kedua, kita mendapat musibah. Ketiga, kita kadang-kadang tergelincir berbuat dosa. Seorang hamba Allah, bisa mendapatkan kebahagiaan dalam tiga kondisi ini, asal dia tahu bagaimana cara menghadapinya.

Firman Allah dalam Al Quran :

لإن شكرتم لأزيدنكم و لإن كفرتم إن عذابي لشديد

Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kami mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim, 7).

Kondisi pertama, ketika kita berhadapan dengan nikmat, kita mesti menghadapinya dengan bersyukur. Sebab jika tidak, nikmat ini tidak lagi memberi kita kebahagiaan, tetapi bahkan menjadi sumber kesengsaraan. Syukur adalah cara kita menjadikan nikmat yang kita peroleh tetap berada dalam jalur yang benar. Jalur yang diterangi oleh akal yang sehat dan petunjuk agama yang benar dan lurus.

Syukur tersusun dari tiga bagian. Pertama adalah kesadaran bahwa segala nikmat yang kita peroleh adalah semata-mata karunia Allah SWT. Kenikmatan ini, mencakup seluruh sumber kebahagiaan, baik yang material maupun immaterial. Kalau Allah mengambil kesehatan kita misalnya, betatapun harta kita banyak, kita tidak akan bisa menikmatinya. Maka kesadaran bahwa kenikmatan dari Allah, adalah sikap mental yang harus kita bangun di hadapan kenikmatan tak habis-habis yang Allah berikan kepada kita. Kedua, kalau kita mesti menyatakan, karena kita berinteraksi dengan orang lain, setidaknya lidah kita berucap Alhamdulillah terhadap nikmat yang kita peroleh. Ketiga, menggunakan kenimatan yang kita dapatkan untuk mendapatkan ridla Allah SWT. Kita keluarkan hak badan dan harta kita sesuai dengan dengan perintah Allah. Ayat di atas sangat jelas mengecam kita untuk jangan coba-coba menggunakan kenikmatan yang kita peroleh untuk semata-mata memenuhi hawa nafsu kita. Azabnya amat pedih, cepat atau lambat.

Banyak orang dengan senang hati menyembah Allah dalam kondisi lapang dan serba ada. Tetapi tidak banyak dari mereka yang tetap menyembah Allah dalam kondisi sulit dan serba kekurangan. Padahal, dalam kondisi terakhir ini, Allah memberikan keistimewaan kepada hambanya, kalau ia tetap mempertahankan bahkan menambah kekuatan hubungannya dengan Allah SWT. Maka kewajiban kita ketika kita berhadapan dengan cobaan, ujian dan musibah adalah bersabar.

Bersabar mengajarkan kita untuk memutus hubungan hati dengan selain Allah. Betapapun kita mencintai harta dan keluarga, akan tiba saatnya, kita mesti berpisah dengannya. Tetapi kapan dan dimanakah kita bisa berpisah dari Allah?. Oleh karena itu, sabar menjadi sarana bagi kita untuk tetap dalam rel agama ketika kita ditimpa bencana. Sabar tersusun dari tiga unsur, pertama: menahan diri untuk tidak menyalahkan keputusan Allah atas musibah yang menimpa kita. Kedua, manahan lidah untuk tidak mengeluh. Ketiga, menahan badan untuk tidak berbuat dosa. Kalau kita dapat berlaku sabar dengan tiga unsur ini, insya Allah, --sebagaimana kata Ibnu al-Qayyim—kita bisa merubah cobaan menjadi anugerah, ujian menjadi pemberian dan sesuatu yang kita benci menjadi sesuatu yang kita cintai. Contoh gampangnya adalah seorang petinju mau mukanya sakit dan benjol biru, demi mendapatkan hadiah uang yang banyak. Bukankah dalam ayat al-Qur’an Allah berfirman:

إنما يوفى الصابرون أجرهم بغير حساب

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”. (az-Zumar, 10)

Semoga kita termasuk orang-orang yang tetap disiplin beribadah kepada Allah, baik dalam kondisi lapang atau sempit, senang atau susah.

Friday, December 01, 2006

Haruskah Ku Mengingat Ajalku…

Oleh: Firmansyah Waruwu

"Perbanyaklah mengingat penghancur segala kelezatan, yaitu kematian." (HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah)


Sejenak kita mengingat dan bercermin serta meratap selama satu hari berapa kali kita teringat dengan kematian yang pasti akan kita jalani nantinya, Allah berfirman “ Setiap yang bernyawa itu pasti akan mati.”


Betapapun bencinya manusia dengan kematian, tidak satupun yang sanggup mengelak darinya. Kematian laksana pintu yang setiap orang akan memasukinya. Kenyataan bahwa sebab kematian begitu mudah, seringkali tak menggugah kesadaran bagi orang yang sedang mabuk kepayang dengan hiasan dunia. Kita menyaksikan dan mendengar sebab kematian orang-orang, ada yang mati di usia muda, ada yang mati di saat sedang tidur, terpeleset atau bahkan ketika makan bakso, Betapa ajal begitu dekat.

Faedah Mengingat Mati


Ad-Daqaaq berkata, "Barangsiapa yang memperbanyak mengingat mati, akan dimuliakan dengan tiga perkara, yaitu bersegera untuk bertaubat, qanaahnya hati, dan rajin dalam beribadah. Sedangkan barangsiapa yang melalaikan kematian niscaya akan ditimpa tiga musibah, yakni menunda taubat, tidak puas dengan apa yang telah didapat dan malas dalam beribadah."


Ketika seseorang menyadari bahwa kematian akan menjemputnya, niscaya ia akan mengingat pula persiapan untuk menghadapinya, dia akan segera ingat dengan dosa-dosa yang nantinya akan dimintai tanggung jawabnya. Hal ini mendorongnya untuk segera bertobat. Ia juga akan berbuat qanaah, tidak serakah terhadap dunia karena dia sadar bahwa itu tidak akan dibawa mati. Selanjutnya dia akan mengalihkan perhatiannya untuk mempersiapkan kematian dengan beribadah. Kalaupun dia mencari harta, tujuannya adalah untuk memuliakan akhiratnya.


Berbeda halnya dengan orang yang malas mengingat mati. Dia akan sibuk mencari kenikmatan dunia, bernafsu melampiaskan syahwatnya dan bergelimang dengan dosa-dosa. Karena dia tidak sadar bahwa kelak kematian akan menghampirinnya dengan tiba-tiba, di saat ia belum memikirkan bekal untuk menghadapinya. Tak terpikir olehnya untuk bertaubat, atau dia merasa masih punya banyak waktu untuk menebusnya sehingga dia berangan untuk menunda taubatnya hingga waktu yang dia sendiri tidak tahu apakah nyawa masih setia bersamanya. Dia juga tidak merasa perlu untuk bersegera melakukan ibadah karena merasa belum saatnya. Benarlah apa yang dikatakan oleh Hasan al-Bashri rahimahullah: "Tiada seorang pun yang panjang angan-angannya melainkan pastilah buruk amal-amalnya."


Mengingat mati adalah obat mujarab untuk melunakkan hati yang keras dan membersihkan karat hati. Telah datang seorang wanita kepada ibunda ummul mukminin Aisyah RH mengadukan akan kerasnya hati yang ia rasakan. Maka Aisyah RH berkata, "Perbanyaklah mengingat mati niscaya hilang penyakit di hatimu!" Akhirnya wanita itupun mengerjakan wejangan itu dan hilanglah penyakit di hatinya, lalu ia datangi kepada ibunda Aisyah untuk mengucapkan terima kasih kepadanya.


Yang Diingat Dalam Kematian:


Jika kita mengetahui faedah mengingat mati, lalu peristiwa manakah yang perlu kita ingat? Banyak peristiwa mengerikan yang dapat kita renungkan dalam peristiwa kematian, yang dengannya hati menjadi lembut, rasa takut bermaksiat semakin bertambah dan semangat ibadah semakin memuncak.


Pertama, bahwa kematian datang secara mendadak. Malaikat maut datang tanpa bisa dicegah, tanpa permisi dan tanpa peduli apa yang sedang dan akan kita kerjakan., baru selesai membangun rumah mewah namun belum sempat menempatinya, atau telah bekerja keras dan hampir saja mendapatkan upahnya, ajal datang tanpa ampun dan tanpa kompromi, atau baru lulus kuliyah tapi tidak dapat menikmati keberhasilannya, itulah kematian.


Betapa banyak kita dapatkan seseorang berangkat ke kantor naik mobil mewah, namun siangnya harus naik keranda roda manusia? Betapa banyak orang yang paginya memakai pakaian indah berdasi lalu siangnya harus orang lain yang melepaskan bajunya untuk diganti dengan kafan? Betapa banyak orang tua yang pagi harinya memandikan anaknya namun siang harinya dia harus dimandikan orang lain sebelum dikafan dan dishalatkan?


Inilah realita yang setiap hari kita dengar dan saksikan, namun keadaan kita seperti yang digambarkan Ar-Rabi bin Barrah: "Aku heran dengan manusia, bagaimana mereka lupakan kejadian yang pasti terjadi? Mereka lihat dengan matanya, mereka menyaksikannya, dan hatipun meyakininya, mengimaninya, dan membenarkan apa yang dikabarkan oleh para Rasul, namun kemudian mereka lalai dan mabuk dengan senda gurau dan permainan."


Kedua, hendaknya kita juga mengingat bahwa kematian itu ada masa sakaratnya. Seperti yang difirmankan Allah "Dan datanglah sakaratul maut yang sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari dari padanya." (Qaaf: 19)


Ketika kematian menjemput Amru bin ‘Ash RA, putranya berkata, "Wahai ayah, Anda pernah berkata, "Sesungguhnya aku heran terhadap seseorang yang di ambang kematiannya, sedangkan akalnya masih lekat, lisannya pun masih sehat namun bagaimana dia tidak mau bercerita?" Maka Amru bin ‘Ash berkata, "Wahai anakku, kematian itu terlalu sulit untuk dikatakan! Akan tetapi baiklah, aku ceritakan sedikit tentangnya, demi Allah seakan-akan di atas pundakku ada gunung Radhwa dan Tihamah…Seakan aku bernafas dengan lubang jarum...Seakan di perutku ada duri yang runcing…Dan langit seakan menghimpit bumi, sedangkan aku berada di antara keduanya..."

Maka marilah kita memperbanyak doa:
"Ya Allah, tolonglah aku untuk menghadapi penderitaan tatkala mati dan sakaratnya."

Kapan mengingat Mati dilakukan


Dzikrul maut (mengingat mati) dapat dilakukan ketika kita mengantar jenazah. Dengan melihatnya kita membayangkan bagaimana jika jenazah yang diusung itu kita.

Ketika Umar bin Abdul Aziz mengurus jenazah, mayat sudah dikubur, diapun berbalik kepada orang-orang sembari berkata: "Seakan kubur itu berkata kepadaku, wahai Umar maukah kuberitahu apa yang aku perbuat terhadap orang ini? Aku bakar kafannya, ku robek badannya, ku sedot darahnya, ku kunyah dagingnya, aku cabut telapak dari tangannya, tangan dari lengannya dan lengan dari pundaknya. Lalu ku cabut pula lutut dari pahanya dan betis dari lututnya dan telapak kaki dari betisnya" kemudian Umar pun menangis.


Dzikrul maut bisa juga dilakukan di keheningan malam, dan bisa juga dengan ziarah ke kuburan, banyak hal yang harus dipahami batas-batasnya. Tidak boleh menentukan waktu tertentu, atau mengkhususkan kuburan tertentu, tidak ada amal tertentu selain ucapan salam, mendoakan si mayit atau untuk mengingat mati.


Dengan mengingat mati kita akan lebih terkendali. Dan memiliki rem untuk tidak melakukan maksiat. Kita pun akan lebih terarahkan untuk melakukan hanya yang bermanfaat saja. Kalau kita lihat para 'arifin dan salafus shalih, mengingat mati bagi mereka, seperti seorang pemuda yang menunggu kekasihnya. Di mana seorang kekasih tidak pernah melupakan janji kekasihnya. Menjelang kematiannya, Sahabat Hudzaifah berkata lirih, "Kekasih datang dalam keadaan miskin. Tiadalah beruntung siapa yang menyesali kedatangannya. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa kefakiran lebih aku sukai daripada kaya, sakit lebih aku sukai daripada sehat, dan kematian lebih aku sukai daripada kehidupan, maka mudahkanlah bagiku kematian sehingga aku menemuimu”, jadi kita di anjurkan tuk mengingat kematian yg akan kita alami.

Semoga dengan tema kematian pada jumat ini lebih mendekatkan diri kita kepada sang pemilik Alam dan seisinya Amin