Friday, November 02, 2007

Islam dan Pengentasan Kemiskinan

Oleh: Ahmad Ridlo

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami peningkatan. Jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2006 lebih besar dari bulan Februari 2006. Menurut Milan Brahmbatt -ekonom senior Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik- penyebab kemiskinan di Indonesia adalah kebijakan pemerintah melambungkan harga BBM, terutama minyak tanah tiga kali lipat, pada Oktober 2005 dan melangitnya harga beras sebesar 33 persen pada kurun waktu Februari 2005 sampai Maret 2006.

Kemiskinan tidak hanya melanda umat Islam Indonesia, tapi juga menjangkiti mayoritas umat Islam di seluruh penjuru dunia. Terdapat lebih dari 60 negara berpenduduk Muslim mayoritas memiliki penduduk miskin. Kemiskinan yang parah menerpa negera Somalia, Jibouti, Kashmir, Afganistan, Uganda, Mali, Kamerun, Gaban, Niger, Kosovo, dan banyak lainnya.

Perspektif Kemiskinan

Seringkali kita melihat sumber kemiskinan hanya pada pendidikan rendah, akses ke sumberdaya ekonomi terbatas, kurang modal, dan "mental miskin". Mental miskin biasanya diartikan sebagai suatu cara hidup dan cara pandang sekelompok orang yang gampang puas dan tidak mempunyai cita-cita untuk meraih masa depan yang lebih baik dan budaya malas. Semua ini memang menjadi sumber kemiskinan. Tapi yang harus diingat, kemiskinan juga ditentukan nilai-nilai dan struktur sosial yang ada. Kemiskinan yang mendera seorang manusia tidak terpisahkan dari sistem sosial di mana ia berada. Kenapa kemiskinan menghampiri manusia padahal Allah telah memberi garansi keamanan rezeki?

Pertama, kemiskinan timbul karena ketidakpedulian dan kebakhilan kelompok kaya (QS Ali 'Imran [3]: 180) sehingga si miskin tidak mampu keluar dari lingkaran kemiskinan. Kedua, kemiskinan timbul karena sebagian manusia bersikap zalim, eksploitatif, dan menindas sebagian manusia yang lain, seperti memakan harta orang lain dengan jalan yang batil (QS at-Taubah [9]: 34) dan memakan harta anak yatim (QS an-Nisa' [4]: 2, 6, 10. Ketiga, kemiskinan timbul karena konsentrasi kekuatan politik, birokrasi, dan ekonomi di satu tangan. Hal ini terlukis dalam kisah Fir'aun, Haman, dan Qarun yang bersekutu dalam menindas rakyat Mesir (QS al-Qashash [28]: 1-88). Keempat, kemiskinan timbul karena gejolak eksternal seperti bencana alam atau peperangan sehingga negeri yang semula kaya berubah menjadi miskin. Contohnya adalah kaum Saba (QS Saba [34]: 14-15).

Untuk menanggulangi kemiskinan, pertama, Islam menganjurkan umatnya agar rajin bekerja, seperti perintah untuk bertebaran di muka mencari rezeki (QS al-Jumu'ah [62]: 10). Perlu ditegaskan di sini, bahwa bekerja dalam Islam bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan perut. Lebih dari itu, bekerja dalam Islam adalah memperoleh ridha Allah Swt. Bekerja juga bukan hanya untuk memuliakan diri, atau untuk menampakkan sisi kemanusiaan, tetapi juga sebagai manifestasi amal saleh (karya produktif), karenanya memiliki nilai ibadah yang sangat luhur. Penghargaan hasil kerja dalam Islam kurang lebih setara dengan iman, bahkan bekerja dapat dijadikan jaminan atas ampunan dosa. Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang di waktu sorenya merasakan kelelahan karena bekerja, berkarya dengan tangannya sendiri, maka di sore itulah ia diampuni dosa-dosanya," (HR Ibnu 'Abbas).

Kedua, Islam melarang riba dan berbuat zalim, baik fisik maupun ekonomi kepada orang lain. Larangan riba sangat efektif mengendalikan laju inflasi sehingga daya beli masyarakat terjaga dan stabilitas perekonomian tercipta. Larangan berbuat zalim dan perintah untuk berbuat adil kepada siapa saja (QS al-Maidah [5]: 8) akan menciptakan struktur sosial yang bersendikan keadilan.

Pengentasan Kemiskinan

Meningkatnya angka kriminalitas selalu bergandengan tangan dengan kemiskinan. Kemiskinan adalah sumber segala tindak kriminalitas kerena membuat orang cepat hilang kesabaran, emosional, berpikir pendek, membenci mereka yang hidup mapan, dan pada akhirnya akan melahirkan tindakan-tindakan radikal; seperti kekerasan dan aksi terorisme. Kemiskinan jiwa dan mental plus miskin harta membuat orang buta dalam melihat kebenaran.

Karena itu, pengentasan kemiskinan harus juga dijadikan akar untuk menolak terorisme. Demikian juga, berbagai ideologi radikal akan sangat mudah ditanamkan dan menjamur dalam masyarakat yang miskin. Rasa frustasi dan kekecewaan atas keadaan dan struktur sosial yang tidak bisa memenuhi kebutuhan perut adalah pupuk bagi tumbuh suburnya ideologi radikal tersebut. Karena itu, pengentasan kemiskinan harus cepat dilakukan pemerintah, bukan hanya sebagai syarat mutlak mewujudkan bangsa yang makmur, menurunkan angka kriminilitas, dan memberikan rasa aman kepada masyarakat dari ancaman teror, tapi juga memberikan suasana kondusif bagi terlaksananya ajaran agama dengan sempurna. Perut lapar membuat masyarakat tidak khusyuk beribadah.

Umat Islam, sebagai umat mayoritas di negeri ini, harus membantu usaha pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Tentunya umat Islam tidak ingin anak-anak mereka hidup miskin sehingga gampang terjerumus pada tindakan-tindakan yang dilarang agama dan negara. Mari kita tutup pintu kemiskinan dengan kerja keras dan menegakkan keadilan sosial.(ahraar)

Friday, October 26, 2007

Haruskah Perempuan berjilbab?

Oleh: Maryam elwahdah

Kehidupan perempuan sebagai ciptaan Allah SWT ini selalu didera dengan berbagai polemik yang kurang menyenangkan. Dari persoalan private hingga public, perempuan selalu masuk dalam lingkaran wacana. Kalau boleh saya katakan dengan ungkapan lain perempuan bernasib simalakama sehingga maju kena mundur pun kena artinya serba salah. Tentu saja ini hal yang sangat tidak adil, perempuan diciptakan dari jenis yang sama dengan laki-laki sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. an-nisa': 1:

يأيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة

"Wahai manusia bertakwalah pada tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari nafs yang satu" . (An-nisa': 1).

Ayat di atas mengisyarakatkan bahwa Allah Swt menciptakan makhlukNya tidak untuk mendiskriminasikan satu sama lain diantara perempuan dan laki-laki bahkan bertujuan untuk saling mengisi, saling menolong dan saling melengkapi bukan sebagai penindasan dan pelecehan satu sama lainnya. Seperti tercantum dalam ayat berikut:

يأيها الناس إنا خلقنكم من ذكر و أنثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعرفوا إن أكرمكم عند الله أتقكم إن الله عليم خبير

"Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu, sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi mengenal. (Q.S. Al-hujjurat: 13).

Adapun persoalan perempuan yang sering dimunculkan dalam permukaan diantaranya mengenai poligami, karir dan jilbab. Tiga hal ini –poligami, karir dan jilbab- merupakan persoalan yang mencuat heboh pada kehidupan modern saat ini. Dari tiga hal tersebut tulisan ini hanya akan terfokuskan pada Jilbab.

Perbincangan mengenai jilbab sudah ada sejak lama, apalagi kalau sudah dikaitkan dengan perempuan akan terasa hidup karena timbul kontroversi dari berbagai kalangan. Di sini penulis menggunakan kata jilbab untuk mengadaptasikan diri dengan kata yang dikenal bangsa Indonesia. Sementara bangsa arab untuk makna yang sama menggunakan kata hijab. Hal tersebut bukan persoalan yang esensi meskipun jika secara bahasa akan ditemukan titik perbedaan namun masyarakat sudah menyamakan makna jilbab dan hijab.

Dalam kamus arab kata jilbab berasal dari kata jalbaba mufrod dari jalabib maknanya baju panjang atau jubah. Sementara kata hijab berjamak hujub bermakna tudung atau penghalang. Jika kita memperhatikan dua kata tersebut –hijab dan jilbab- tentu berbeda, kalau jilbab itu adalah baju sedangkan hijab itu kerudung/tudung kepala, namun demikian maksud dari keduanya satu yakni menutup aurat. Sekali lagi dalam tulisan ini kata jilbab digunakan sebagai alat untuk menutup kepala dengan kata lain mengambil alih makna hijab dikarenakan bangsa Indonesia memaknainya demikian.

Wacana Jilbab dan perempuan kalau boleh diibaratkan dengan istilah ada gula ada semut maka ada jilbab ada perempuan. Mayoritas orang jika sudah membicarakan tentang aurat perempuan akan menyinggung jilbab begitu juga sebaliknya, sehingga muncul pertanyaan, apakah jilbab itu sebuah keharusan bagi perempuan?

Untuk menjawab pertanyaan di atas tentunya kita sebagai muslim dikembalikan pada sumber segala sumber yakni al Qur'an. Firman Allah Swt tentang jilbab yang tercantum dalam al Qur'an adalah:

قل للمؤمنات يغضضن من أبصرهن ويحفظن فروجهن ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها وليضربن بخمرهن على جيوبهن

« Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya ». (Q.S. An-nur : 31).

Ayat tersebut menjadi dalil andalan bagi pihak yang menekankan bahwa memakai jilbab adalah sebuah kewajiban/keharusan. Lalu apakah dengan ayat tersebut tidak ada yang kontra ? Kontroversi itu alamiyah, toh Allah swt menciptakan langit dan bumi yang berposisi atas dan bawah. Kata atas berlawanan dengan bawah, jadi kalau ada yang mewajibkan maka ada juga yang akan tidak mewajibkannya. Berdasarkan asumsi tersebut, apa yang menyebabkan orang mewajibkan dan tidak mewajibkan ?

Pihak yang mewajibkan, mayoritas berdasarkan dalil-dalil agama, seperti ayat di atas merupakan dalil untuk mewajibkan pemakaian jilbab. Dan dijelaskan juga didalam Q.S.al-ahzaab:59, kurang lebih terjemahannya “Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu dan putri-putrimu dan isteri-isteri orang beriman “hendaklah mereka mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka”, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.

Sementara pihak kedua tidak hanya berpegangan pada dalil agama tetapi juga lebih mempertimbangkan aspek social dan budaya. Ini dapat terlihat terhadap pembacaan ayat-ayat al Qur’an di atas. Pihak pertama (mewajibkan) memaknai ayat-ayat di atas secara tekstual (sebagaimana yang tertulis). Pihak ini tidak melihat konteksnya, yang mereka tekankan bentuk dhohirnya, bagi mereka pemakaian jilbab sangat menguntungkan perempuan dalam berbagai aspek dan kondisi meskipun kondisi (konteks)nya sudah berbicara lain (tidak sesuai).

Dan cara-cara pihak ini untuk melegalkan pemakaian jilbab bagi perempuan kadang terkesan memaksa dan mengada-ada, misalnya dengan mengibaratkan perempuan dengan kue donat yang terbungkus rapat. Menurutnya, donat yang dibungkus plastik itu lebih sehat, terjaga, tidak dicolak-colek tangan-tangan yang hanya iseng tapi tak mau beli (diungkapkan ustadz jefri al buchari). Dan juga tiga alasan yang dilontarkan salah satu walikota bahwa Pertama, karena daerah itu bersuhu dingin. Dengan jilbab, perempuan-perempuan di sana tak lagi kedinginan dan masuk angin. Kedua, sejak diturunkanya perda jilbab, menurutnya, tidak terdengar lagi kasus penjambretan. Perempuan-perempuan pun tidak perlu lagi memakai perhiasan. Ketiga, pelajar putri yang selama ini tak mampu memiliki perhiasan, tidak perlu malu lagi masuk sekolah. Ungkapan ustadz jefri dan alasan walikota itu perlu dibenahi kembali, perempuan itu manusia berakal seperti halnya laki-laki maka jika memberikan argument harus rasional.

Sedangkan pihak kedua (tidak mewajibkan jilbab) pembacaannya dengan makna kontekstual, sehingga mereka berpendapat bahwa kata dzâlika adnâ an yu’rafna (supaya lebih mudah dikenal) dan fa lâ yu’dzayna (maka tidak diganggu) ini melihat situasi pada saat turunnya ayat tersebut yakni adanya kaum budak dan kaum merdeka, sehingga untuk membedakannya harus memakai jilbab. Meskipun Islam sendiri tidak mendeskriminasikan satu kaum dengan kaum yang lain akan tetapi kondisi arab saat itu memang cukup deskriminatif. Kemudian khalifah Abu bakar asshiddiq membebaskan perbudakan sehingga pada zaman sekarang tak ada perbedaan antara budak dan merdeka, kedua-duanya sama-sama manusia yang memiliki posisi sama dihadapan pencipta kecuali tingkat ketakwaannya. Dengan begitu menurut pihak kedua, pemakaian jilbab tidak lagi sebuah kewajiban atau keharusan karena untuk memuliakan perempuan bukan dalam simbolik melainkan diperlakukan manusiawi dengan memberdayakan akal budi.

Jika kita meninjau ulang dua ayat di atas, al Qur’an hanya memberikan anjuran untuk kemaslahatan umatnya jika memang perempuan tanpa jilbab itu mendapatkan ketenangan dan keamanan maka tidak harus diwajibkan untuk memakai jilbab tentunya dengan tetap menjaga busana yang sopan sesuai dengan budaya setempat. Namun sayang, perempuan selalu dijadikan penyebab ketidakamanan dan ketidaktenangan, mereka selalu menyalahkan perempuan ketika terjadi pemerkosaan dengan dalih perempuan yang tak berjilbab bahkan berpakian seksi menggugah nafsu laki-laki sehingga perempuanlah yang harus ditutup rapat agar laki-laki tidak bernafsu atau ‘nakal’. Kenapa harus perempuan yang ditutup rapat ? kenapa kaum laki-laki tidak bisa berfikir jernih dan bersih sehingga tidak muncul pikiran-pikiran kotor penyebab keluarnya nafsu ?sehingga pemerkosaan pun tidak terjadi.

Perempuan merupakan makhluk hidup yang tidak lepas dari tanggung jawabnya sebagai manusia yang berhak partisipasi dalam menjunjung kemanusian dan keadilan di dunia. Perempuan bukan hanya sebagai pelengkap laki-laki di dalam rumah tangga dan dianggap perusak ketenangan laki-laki sehingga harus ditutup rapat dengan jilbab padahal dengan jilbab tersebut perempuan tidak menemukan ketenangan dan kebebasannya. Untuk sebagian perempuan mungkin menemukan kebebasan dan ketenangan dengan jilbab tetapi bagi sebagian perempuan lain yang posisinya tidak memungkinkan untuk berjilbab karena benturan dengan sosial, budaya dan politik, apa yang harus diperbuat oleh perempuan ?

Dengan demikian, Keharusan memakai jilbab bagi perempuan dengan tanpa melihat kondisi dan aspek-aspek yang melatar belakanginya hanya akan membuat kesengsaraan dan keresahan perempuan semata. Pemakaian jilbab bukan hanya simbolik tapi harus penuh dengan kesadaran terhadap kemaslahatannya ditinjau dari berbagai aspek demi tercapainya ketenangan dan keamanan serta kebebasan perempuan. Pemahaman dan pengertian termasuk kunci kemaslahatan.

Saturday, September 29, 2007

Antara Usaha, Do’a dan Pasrah

Oleh: Arwani Syaerozi, MA.

“Berdo’a tanpa usaha bagaikan pengemis, berusaha tanpa do’a bagaikan komunis”, adagium ini sangat merakyat, di sisi lain kita pun mendengar seruan bernada pasrah dalam menjalani kehidupan “Hidup matiku ada di tangan Tuhan”, saya yakin kebanyakan dari kita pernah mendengar ungkapan tersebut. Lantas apa pesan dari kalimat-kalimat sederhana yang sarat dengan makna ini? Sehingga gaungnya benar-benar merambah ke segenap penjuru dunia.

Entah sadar atau tidak, ternyata hari-hari kita selalu diliputi dengan beragam keinginan dan angan-angan, timbul silih berganti tidak pernah hilang, semakin hari semakin bertambah, karena inilah sebenarnya yang dinamakan dengan tabiat manusia. Potensi “tidak puas” adalah sifat dasar yang selalu melekat dalam diri kita. Munculnya keinginan erat berhubungan dengan adanya ketidak puasan, Allah SWT berfirman: “ Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir” (Qs. al Maarij: 19). Kalau kenyataanya demikian, bagaimanakah Islam menyikapi sifat dasar yang melekat dalam diri setiap manusia ini?

Keinginan dan angan-angan di sini sifatnya universal, mencakup cita-cita dan harapan. Seorang pedagang berkeinginan sukses dalam berbisnis, stok dagangannya laku kemudian meraup keuntungan, komunitas pelajar berharap lulus saat ujian sehingga cita-citanya dapat tercapai, para pemikir berangan-angan mewujudkan tatanan sosial masyarakat yang damai sejahtera agar tercipta baldatun thayibah wa rabbun ghafur (gemah ripah loh jinawi). Ujung dari semuanya akan berhubungan dengan “keberhasilan” atau “kegagalan (predikat berhasil atau gagal)”.

Pada deskripsi singkat tadi, apakah hanya dengan berusaha kita bisa meraih target yang diinginkan? Adakah unsur-unsur lain yang sekiranya penting diperhatikan dalam menyikapi derasnya angan, keinginan, harapan dan cita-cita? Sebab, bukankah kita sering mendengar kabar kegagalan seorang negarawan dalam menjalankan tugasnya, padahal dia telah mencurahkan segala kemampuan. Atau kita sering mendengar kabar buruk para pelajar dalam menghadapi ujian, padahal mereka telah belajar maksimal, bahkan kita juga sering mendengar cerita orang-orang yang frustasi dan berakhir dengan bunuh diri akibat depresi saat menghadapi kegagalan. Disinilah ajaran Islam datang memberikan solusi atas fenomena di atas, dalam Islam kita dikenalkan anjuran berdo’a dan berpasrah di samping kita dituntut untuk berusaha.

Makna berusaha:

“Dan katakanlah; bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu” (Qs. at Taubah: 105), spirit berusaha dan berikhtiar terkandung dalam ayat ini. perintah untuk bekerja artinya perintah untuk berusaha keras dalam menggapai suatu tujuan baik duniwai maupun ukhrowi.

Berusaha adalah langkah pertama yang harus dijadikan pijakan seorang muslim dalam meraih sejuta impian dan harapan, tanpa unsur “usaha” jangan berharap orang akan bisa mewujudkan keinginannnya. Rasulullah Saw sebagai suri tauladan telah memberi contoh konkrit dalam hal ini, yaitu dengan terjun berbisnis sebagai upaya memenuhi kebutuhan hidupnya.


إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Qs. ar Ra’d : 11)


artinya, Allah SWT tidak akan merubah keadaan kita selama kita tidak berusaha merubah sebab-sebab kemunduran. Kalaupun terjadi “kesuksesan” tanpa dilalui dengan proses usaha, maka hal itu termasuk dalam katagori anugerah khusus dari Allah, bagaimanapun jika Allah SWT berkehendak maka tidak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi.


إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya; jadilah ! maka terjadilah” (Qs. Yasin : 82)

Makna berdo’a:

Dalam segala aktivitas, kita dianjurkan untuk berdo’a memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah SWT. al Qur’an menjelaskan;“Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku” (Qs. al Baqarah: 186).
Menjadi jelaslah bahwa Allah akan mendengar setiap permintaan para hamba-Nya, dan bahkan akan mengabulkan segala permintaanya.


إِنَّ اللّهَ لاَ يُخْلِفُ الْمِيعَادَ

Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji” (Qs. Ali Imran: 9)

Namun, apa yang dimaksud dengan pengabulan setiap do’a di sini? Apakah Allah akan menuruti setiap permintaan kita (sesuai bentuk, kualitas dan kuantitas) dari apa yang kita inginkan saat berdo’a, atau memiliki makna yang lebih luas? Pakar tafsir Muhamad bin Ali as Syaukani (w: 1250 H) dalam bukunya fath al Qadir menjelaskan; pengabulan do’a bisa seketika, bisa juga ditunda, bisa sesuai dengan apa yang terlintas saat berdo’a, atau bentuk lain yang lebih bermanfaat bagi si pendo’a Rasulullah Saw bersabda:


مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُوْ الله َبِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيْهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيْعَةُ رَحْمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثِ خِصَالٍ: إِمَّا أَنْ يَجْعَلَ لَهُ دَعْوَتَهُ، وَإِمَّا أَنْ يُدَخٍّرَ لَهُ فِيْ الآخِرَةِ، وَإِمَّا أَنْ يُصْرِفَ عَنْهُ مِنْ السُّوْءِ مِثْلَهَا.


Tidak ada seorang muslim yang berdo’a memohon kepada Allah, yang do’anya tidak mengandung unsur dosa dan pemutusan hubungan persaudaraan, kecuali Allah akan mengabulkan dengan tiga kemungkinan; memberikan apa yang dinginkan, disimpan (pahalanya) hingga di alam akhirat, atau diselamatkan dari bahaya yang mengancam“. (HR. Bukhori).

Makna berpasrah:

Di antara ayat al Qur’an yang menjelaskan tentang urgensi tawakkal (berpasrah) bagi pribadi muslim dalam menjalani kehidupan adalah firman Allah dalam surat at Talaq:


وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرً

Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya, sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu” (Qs. at Talaq: 3)

Dikisahkan, sufi besar Ibrahim bin Adham bertemu dengan seorang pemuda yang tampak gelisah, beliau berkata: saya akan bertanya tentang tiga hal: 1- apakah ada sesuatu di alam ini terjadi tanpa kehendak dari Allah?, Pemuda menjawab: tidak ada. 2- apakah rizkimu bisa berkurang dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah?, Pemuda menjawab: tidak, 3- apakah ajalmu bisa berkurang dari tanggal yang telah ditetapkan oleh Allah? Pemuda menjawab: tidak mungkin, kemudian Ibrahim bin Adham berkata: kalau begitu kamu harus mengkhawatirkan apa? Namun, tawakal (berpasrah) harus diposisikan setelah proses usaha dan berdo’a, hal ini sebagai antisipasi agar kita tidak berburuk sangka terhadap Allah SWT (atas segala ketetapan-Nya), dengan berpasrah saat menunggu hasil jerih payah dan usaha keras, kita diarahkan kepada dua hal positif, yaitu; bersyukur saat menemukan kesuksesan, dan bersabar saat menghadapi kegagalan. Di sinilah Rasulullah Saw bersabda: “saya kagum dengan keadaan orang Islam, semuanya istimewa; ketika sukses mereka bersyukur, dan ketika gagal mereka bersabar” (HR. Muslim).

Kesimpulan:

Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa; dalam menjalani kehidupan di alam fana, kita dianjurkan berusaha keras untuk merealisasikan keinginan dan cita-cita, hal ini tentunya dibarengi dengan berdo’a memohon pertolongan dan petunjuk dari Allah SWT, kemudian apapun hasil dari usaha keras yang telah kita curahkan, semuanya kita kembalikan kepada Allah SWT. Saat usaha kita berhasil kita tidak lupa daratan, begitu juga saat usaha gagal, kita tidak dihinggapi rasa frustasi dan kekecewaan. Yang demikian inilah sebagai bentuk penyelarasan antara tiga hal yang ditekankan dalam ajaran Islam; yaitu berusaha, berdo’a dan berpasrah.

“Biarkan waktu berlalu dengan segala suka dukanya, lapangkan jiwa dalam menghadapi keputusan Tuhan. Janganlah bersedih karena kejadian yang menyakitkan, sebab segala peristiwa di dunia tidak ada yang kekal. Dan jadilah dirimu manusia yang kebal terhadap cobaan dan ancaman, namun sikap perilakumu tetap pemaaf dan setia“ (Imam Syafi’I (w: 204 H) )
Wallahu A’lam

Sunday, September 23, 2007

Reaktualisasi Konsep Pelarangan Kemunkaran

Oleh: Arip Rahman, DESA.


Salah satu ciri ummat Islam dinyatakan sebagai ummat terbaik adalah karena ummat ini memiliki kewajiban risalah dakwah - amar ma’ruf dan nahi munkar- yang tidak dimiliki oleh ummat lainnya (QS-3 :104). Dalam Islam barometer keimanan seseorang diukur berdasarkan kepada keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, antara lain terutama dengan menjalankan kewajiban risalah dakwah tersebut (QS- 49 : 13). Berbeda dengan Yahudi yang mendeklarasikan sebagai bangsa pilihan karena mereka berasal dari keturunan utama para Nabi yang diutus ke dunia.

Tentunya seseorang akan menjadi muslim paripurna apabila selalu menjalankan risalah dakwah di atas, bukan hanya untuk kepentingan individu tetapi juga bagi kepentingan kolektif. Namun dia juga harus memiliki perhatian dan sensitif tinggi untuk saling menasehati dan bersabar dalam ketaqwaan, guna meningkatkan dan membentuk perbaikan mutu kesabaran dan ketaqwaan sesama ummat tetap terjaga.

Kalau kita cermati beberapa kandungan ayat suci Al-Quran terutama yang berkaitan dengan topik kali ini, Allah SWT memuji para pelaku penegak risalah dimaksud, dan sebaliknya Dia mencela orang-orang yang tidak mengindahkan anjurannya. Allah SWT berfirman, “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan


Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka selalu durhaka dan melampuai batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu” (QS - 4 : 78-79).
Semua yang dibenci dan diharamkan Syari’at adalah kemunkaran. Berkenaan dengan pelarangan kemunkaran adalah menarik sekali untuk reaktualisasi pemahaman konsep tersebut terutama pemahaman konsep nahi munkar yang terdapat dalam sebuah hadist yang cukup populer di masyarakat, berbunyi :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ،فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ .

Artinya : “Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya, maka barangsiapa tidak mampu (mengubah dengan tangannya), hendaklah ia mengubah dengan ucapannya, dan barangsiapa tidak mampu (mengubah dengan ucapnya), maka hendaklah ia mengubah dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman” (HR. Muslim).

Ketidaktepatan pemahaman hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini terjadi di kalangan umum yang memandang bahwa pengubahan kemunkaran merupakan kewajiban setiap muslim sesuai dengan tartib dan urutan teks hadist, yaitu: tangan, lisan dan hati. Ringkasnya, setiap muslim hendaknya berupaya semaksimal mungkin untuk menghentikan kemunkaran dengan tangannya. Apabila tidak mampu dengan tangan, maka dengan lisannya dan apabila tidak mampu juga, maka cukuplah hati kita mengingkari dan menolaknya, bukan justru mendukungnya.

Memang perintah amar ma’ruf nahi munkar hukumnya wajibul ain. Namun pemahaman tersebut, tampaknya perlu dikaji ulang karena terdapat kesalahan pada saat mengamalkannya hadist ini, walaupun niat awalnya benar. Namun tidak semua niat yang benar membuahkan hasil yang benar dan diterima di sisi-Nya. Misalkan dengan berlandaskan hadist ini, sekelompok melihat pusat tempat kemunkaran kemudian mereka melakukan sweeping dengan membawa bermacam senjata tajam untuk menghancurkan tempat tersebut dengan kekuatan tangan–perubahan dilakukan dengan tangan sesuai tartib teks hadist-.

Kejadian dimaksud harus dibayar mahal karena selain menyebabkan anarkhi sehingga menelan korban dan stabilitas negara terganggu seperti yang dilakukan oleh beberapa oknum kelompok tertentu. Payahnya, disamping mencoreng reputasi ummat terutama pasca peiliputan media lokal maupun internasional pada saat anarkhi, sekilas terkesan seolah-olah ummat Islam lebih mengutamakan kekerasan dalam pengampaian sasaran dan tujuannya.

Maka untuk menghindari hal yang tidak diharapkan, seyogyanya bentuk perintah dari hadist di atas adalah untuk -مِنْكُمْ- di antara kalian- yaitu pengkhususan. Contohnya, barang siapa di antara kalian melihat orang sakit, maka obatilah - tentunya setelah ada arahan dan anjuran dari dokter. Atau barang siapa yang melihat mobil melaju kencang melebihi batasan kecepatan yang ditentukan, maka polisi berkewajiban menghentikan aksi tersebut. Mungkin salah satu syarat penerapan hadist ini adalah hendaknya seseorang memiliki kemampuan untuk melarang kemunkaran dengan ketiga media tersebut. Jadi tidak semua orang dapat menerapkan hadist di atas sekehendak hati ber-nahi munkar dilakukan secara tartib agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.

Tangan lebih kuat dari pada lisan, lisan lebih kuat dari pada hati, tampaknya tidak selalu tepat dengan ke nyataan. Padahal yang namanya keimanan sejatinya bersemayan dalam hati dan refleksinya dalam perbuatan anggota tubuh, baik itu dengan menggunakan tindakan tangan maupun ucapan lisan. Dengan demikian, maka hati lebih kuat dari pada keduanya (tangan dan lisan) karena hatilah yang mengerakan keduanya.

Kalau kembali kepada hadist di atas secara utuh, dapat disimak bahwa isim isyarah/demonstrative pronouns َذَلِكَ yang bermakna itu bukan ini, menunjukan kepada yang jauh-lil ba’id yaitu tangan- bukan kepada yang dekat –lil qhorib-, yaitu hati. Kenapa demikian? karena sesungguhnya hati yang terkuat jika berkaitan erat dengan Allah SWT, maka pada saat seorang berdoa akan dikabulkan doanya antara lain apabila niat dalam hatinya kuat/khusyu’. Dengan demikian hati harus lebih kuat dan lebih berpengaruh melebihi kekuatan tangan dan lisan.

Berdasarkan pengalaman untuk masalah ini, tidak selamanya media pelarangan nahi munkar dilakukan secara tartib. Hal itu disesuaikan dengan kadar besar kecilnya kemunkaran, bisa jadi langsung dengan tindakan ucapan (lisan), kemudian hati dan terakhir dengan mengunakan aparat Pemerintah (tangan), yang tentunya memerlukan proses dan pengamatan yang lebih arif sesuai dengan kondisi dan media mana yang harus diutamakan.

Namun pelarangan kemunkaran dapat dilakukan secara tartib–tangan, lisan dan hati-, tentunya harus sesuai dengan klasifikasi yang telah ditentukan oleh ulama. Yaitu dengan landasan bahwa bentuk isim mausul dan istifham inkari/kata sambung -مَنْ man- tidak ditujukan untuk semua kelompok dalam satu paket dapat menggunakan media pelarangan kemunkaran. Adapun klasifikasi orang yang dapat bertindak dengan ketiga media tersebut adalah :
Pertama: kalimat ‘hendaklah ia mengubah dengan tangannya’ adalah dikhususkan penguasa atau pemerintah, kedua: kalimat ‘maka barangsiapa tidak mampu (mengubah dengan tangannya) hendaklah ia mengubah dengan ucapannya’ ini ditujukan bagi ulama termasuk tholibul ilmi –yang memahami agama dengan baik- dan ketiga: kalimat ‘barangsiapa tidak mampu (mengubah dengan ucapnya) maka hendaklah ia mengubah dengan hatinya’ ini dapat dilakukan oleh semua unsur ummat tanpa pengecualian asal memenuhi syarat taklif.

Selanjutnya bahwa kadar atau ukuran kemunkaran kecil dan besar serta pengaruhnya tentunya akan berbeda. Misalkan kewajiban bapak memerintahkan anaknya yang berusia 10 tahun untuk mendirikan sholat fardhu. Apabila si anak dalam usia tersebut belum terbiasa sholat –meninggalkan sholat adalah bentuk kemunkaran- maka si bapak sesuai perintah Rasulullah SAW dapat memukul (pukulan yang tidak menyakitkan) anak tersebut jika meninggalkan kewajiban sholat. Dalam kasus semisal itu, dapat digunakan ketiga media nahi munkar karena kadar kemunkarannya tidak terlalu besar karena semua orang tua kemungkinan besar dapat bernahi munkar yang dilakukan anaknya.

Adapun berkenaan dengan kemunkaran kolektif (Bar dan Night Club) yang kadar kemunkarannya sangat besar menurut pandangan Syari’at, maka yang memiliki otoritas bertindak untuk mengubah kemunkaran tersebut adalah yang memiliki kemampuan, yaitu penguasa atau pemerintah. Apabila dalam kemunkaran semacam ini yang bertindak perorangan atau sekelompok non-pemerintah, dikuawatirkan akan menimbulkan kemunkaran yang lebih besar, dan justeru dalam pencegahan terhadap sebuah kemunkaran menimbulkan fitnah yang lebih besar dan dapat memicu pertumpahan darah.

Akhirul kalam, ketidaktepatan memahami hadist di atas telah menyebabkan jatuh korban manusia dan mengakibatkan adanya ancaman rasa takut akibat berbagai aksi kekerasan. Untuk itu diperlukan reaktulisasi pemahaman hadist di atas secara profesional, agar masa kelabu ummat Islam pada saat sekarang, kiranya tidak akan dialami lama dan gelar predikat Sebaik-Baiknya Ummat tetap layak disandang oleh ummat ini sebagai pelaku utama pengemban misi dakwah.

Friday, September 14, 2007

Hadits dan Ekonomi

Oleh : Muhammad Yusuf Siddik

Sekilas terasa sedikit aneh jika kita menggandengkan antara Hadis Rasul yang selalu dikenal sebagai acuan kita dalam beribadah dengan ekonomi yang lebih condong kepada keduniaan. Keterasingan ini memang memiliki alasan tersendiri karena umat Islam Indonesia pada khususnya dan umat Islam global pada umumnya terlalu lama dipaksa atau terpaksa memisahkan Islam dari segenap kehidupan bisnis dan ekonominya. Namun jika ditelusuri lebih dalam, banyak sekali nilai yang disampaikan oleh Rasulullah berkaitan erat dengan upaya peningkatan taraf hidup masyarakat guna tercipta moslem society yang berperadaban dan memiliki ekonomi maju.

1. Rasulullah mengenalkan istilah itqan yang lebih tepat jika diterjemahkan dengan profesionalitas. Kita dituntut untuk mampu bersaing di kancah perekonomian dunia yang semakin hari semakin mengglobal dan tanpa batas. Kita akan terpuruk oleh desakan negara-negara maju jika kita tidak memiliki profesionalitas tinggi dan selalu mengandalkan tenaga profesional asing dan barang impor.

2. Rasulullah juga melarang umatnya hidup dengan cara « konsumtif /berlebihan». Ini juga termasuk yang paling vital dalam membangun taraf hidup masyarakat. Sebab cara hidup yang berlebihan membuat manusia tidak mampu memilah kebutuhan dan mengklompokkannya ke dalam skala prioritas.

3. Hidup yang produktif. Rasulullah menganjurkan umatnya untuk selalu bekerja untuk keduniaan seolah-olah kita akan hidup selama-lamanya. Beliau menggandengkan 3 kata yaitu ; kerja keduniaan, hidup dan selama-lamanya (masa depan) yang berarti, kita tidak hanya dituntut untuk bekerja, tapi bekerja yang menghasilkan (produktif) dan berwawasan ke depan.

4. Rasulullah menganjurkan kita untuk membagi perut menjadi 3 bagian, 1/3 untuk makanan, 1/3 untuk minuman dan 1/3 lagi untuk pernafasan. Anjuran ini memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi jika kita terapkan dalam kehidupan finansial seseorang. Penghasilan kita hendaknya dibagi kepada 3 yaitu, 1/3 untuk kebutuhan primer, 1/3 untuk kebutuhan skunder dan 1/3 untuk menabung (bernafas/kebutuhan insidentil).

5. Beliau juga mewanti-wanti kita agar tidak terjerat hutang, dan berupaya semaksimal mungkin untuk segera melunasi. Bahkan dalam sebuah haditsnya beliau mengajarkan kita untuk meminta perlindungan Allah SWT dari sifat pengecut, bakhil, lemah, pemalas dan terbelit hutang. Pesan ini jika benar-benar direnungkan olah penguasa negeri kita tercinta, Indonesia akan mampu melepaskan diri dari krisis ekonomi yang melanda. Sebab faktor utama penyebab terpuruknya Indonesia ke dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan, adanya tunggakan hutang yang berupa dolar, sementara rupiah jatuh pada posisi yang paling rendah sepanjang sejarah.

6. Rasulullah juga menganjurkan kita untuk berpetualang, menjelajahi dunia dan mengenal bahasa asing sebagai anjuran agar kita memiliki orientasi ekspor dalam berdagang. Hal ini tidak hanya dianjurkan beliau dalam kata-kata, namun dibuktikan dalam perbuatan saat beliau berdagang dari Mekkah ke Syam dengan membawa dagangan saudagar « Khadidjah ». Pesan ini juga hendaknya menjadi renungan kita, sebab menurut catatan Econit pada semester awal 2001 laju pertumbuhan impor Indonesia tak kurang dari 30 persen sementara pertumbuhan ekspor hanya 7-8 persen. Adanya net ekspor yang negatif ini sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada umumnya (Republika, 5/9/2001).

7. Baginda Rasul juga melarang kita membiarkan lahan terbengkalai, mati tanpa dimanfaatkan dengan bercocok tanam. Bahkan lahan yang belum dikenal pemiliknyapun boleh kita tanami, selagi belum ada yang mengakui kepemilikannnya. Ironis sekali, Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan yang sangat luas, namun ternyata untuk kebutuhan sehari-hari saja masih mengimpor dari luar.

8. Beliau juga menganjurkan kita berbisnis, bahkan dalam hadits beliau yang dikutip Mawardi « usaha yang paling diberkati Allah adalah berdagang ». Dan ini terbukti, bisnis adalah lahan yang paling menguntungkan dan menjanjikan.
Masih banyak prinsip-prinsip ekonomi yang gariskan oleh Rasulullah lewat hadits-hadits beliau yang tidak mungkin dijabarkan dalam artikel kecil, namun perlu dibahas lebih mendalam oleh ekonom-ekonom yang berwawasan keislaman. Wallahu a’lam

Saturday, September 08, 2007

"Generasi Rabbani", Generasi Anti Kekerasan

Oleh : A. Ridho Al Mundziry, DESA

Dalam beberapa tahun terakhir, terutama pasca-tsunami di Aceh dan sekitar yang disusul dengan berbagai bencana di beberapa daerah di Tanah Air, paling tidak ada dua "penderitaan" yang dialami oleh bangsa Indonesia, khususnya anak-anak.

Pertama, kemiskinan konvensional. Penderitaan anak-anak Indonesia disebabkan orangtuanya miskin secara ekonomi. Kekurangan sandang, pangan, dan papan menyertai kehidupan sehari-harinya. Usia yang mestinya mereka gunakan untuk belajar di sekolah-sebagaimana yang dialami anak-anak pada umumnya-mereka gunakan untuk membantu orangtuanya mencari nafkah.

Kedua, menderita karena musibah. Pasca-tsunami di Aceh dan sekitarnya, di beberapa daerah di Tanah Air diterpa bencana berupa kekeringan, banjir, gempa, gunung meletus, dan lain-lain. Inilah deretan peristiwa yang datang tiba-tiba. Kerugian yang ditimbulkannya tidak hanya menimpa orang-orang miskin, tetapi juga orang kaya. Anak-anak yang semula berlimang kesenangan dalam "pelukan" orangtua yang ekonominya mapan, tiba-tiba jatuh miskin. Sedikit banyak, bencana-bencana itu menimbulkan keprihatinan dan trauma. Secara psikologis, perasaan dan ketenteraman jiwa anak-anak akan terganggu.

Fitrah Manusia

Dua "penderitaan" yang kini dialami oleh anak-anak Indonesia harus segera diatasi agar perkembangan dan pertumbuhannya berjalan normal, terutama soal pendidikannya. Mereka harus dilatih dan dididik menurut minat dan bakat. Anak-anak harus disiapkan menjadi penerus perjuangan bangsa dengan berbagai ketererampilan yang kelak bisa menopang kehidupannya. Menyiapkan generasi muda yang tangguh merupakan kewajiban orangtua dan seluruh komponen bangsa. Bahkan kita harus khawatir jika kelak meninggalkan generasi yang lemah, baik mental maupun moralnya (QS An-Nisa [4]: 9).

Dalam ayat lain disebutkan bahwa mencintai anak dan harta benda merupakan fitrah manusia serta anak dan harta yang "disalehkan" akan bisa dipetik manfaatnya (QS Al-Kahfi [18]: 46). Itu semua merupakan tabungan yang akan kita dapatkan kelak di akhirat. Harta yang disedekahkan dan anak-anak yang didik menjadi saleh akan menjadi kebajikan yang sangat istimewa. Keistimewaan anak saleh terletak pada doa dan permohonan ampun mereka untuk kedua orangtuanya. Lain halnya dengan anak yang durhaka. Mereka bukannya akan mengangkat kedudukan orangtua, malah jadi beban pertanggungjawaban kelak di akhirat.
Dalam Al-Quran terdapat kisah mengenai cita-cita dan harapan istri Imran terhadap anaknya ketika masih dalam kandungan (QS Ali Imran [3]: 35). Nazar mulia istri Imran adalah tekadnya untuk menjadikan anak yang dikandungnya kelak itu lahir, akan ia jadikan muharrar, seorang anak saleh, yang tidak disibukkan oleh persoalan-persoalan duniawi, tetapi secara khusus mengonsentrasikan diri mendalami agama ("ulama"). Inilah sebuah cita-cita dan harapan orangtua yang patut kita teladani. Oleh karena itu, di antara sekian banyak anak yang kita miliki, salah satunya harus ada yang mengkhususkan diri untuk mempelajari agama.

Generasi Rabbani

Generasi yang memiliki ilmu yang memadai dan kepribadian yang saleh, dalam bahasa Al-Quran itu disebut "generasi rabbani" (QS Ali Imran [3]: 79). Tidak banyak memang orang yang mampu menyiapkan generasi berilmu dan bertakwa. Bahkan banyak yang mengabaikan. Banyak orang yang bercita-cita memiliki generasi yang baik, yang bisa melanjutkan perjuangan membangun bangsa dan negara, namun sedikit sekali yang sukses. Langkah-langkah mendidik anak yang sehat jasmani dan sehat rohaninya, paling tidak bisa kita temukan dari pola yang diterapkan oleh Luqman Al-Hakim. Ia adalah seorang bijak yang namanya diabadikan dalam Al-Quran berkat nasihat-nasihatnya terhadap anaknya.

Ada empat langkah yang ditempuh Luqman Al-Hakim dalam mendidik anak, yaitu:
(a) menanamkan dan memantapkan nilai-nilai akidah serta terbebas dari kemusyrikan. ini adalah landasan utama keberagamaan generasi kita (QS Luqman [31]: 13),

(b) menyuruh berbuat baik kepada orang tua (QS Luqman [31]: 14),

(c) menyuruh salat dan menganjurkan bersabar dalam beramar makruf nahi munkar (QS Luqman [31]: 17), dan

(d) menanamkan sikap-sikap dan perangai terpuji, seperti tidak boleh sombong dan angkuh baik dalam ucapan maupun tindakan (QS Luqman [31]: 18-19).

Itulah dasar-dasar dan tahapan-tahapan pendidikan yang diajarkan Luqman kepada anaknya. Semuanya itu memang sangat sistematis. Mulai dari yang utama, yaitu mengenai dasar-dasar keimanan, hingga akhlak sehari-hari, cara berjalan dan bertutur kata. Jika seorang anak telah memiliki dasar iman yang kuat dan sifat-sifat pribadi yang terpuji, maka generasi rabbani yang kita dambakan akan terwujud. Dengan demikian, masa depan bangsa hanya dapat dipercayakan kepada anak-anak yang cerdas, terampil dan bermoral. Jika selama ini pendidikan hanya berorientasi pada kecerdasan dan keterampilan, harus ditambah dengan orientasi pada keluruhan budi pekerti. Sebab, carut marutnya bangsa ini bukan karena manusia Indonesia tidak cerdas atau tidak terampil, tetapi karena sedikitnya orang yang bermoral atau punya nurani. Penekanan pada pendidikan yang bermoral agama menjadi sangat penting dan karena itu pula, cita-cita istri Imran dan pola pendidikan terhadap anak yang dipraktikkan Lukman seperti yang telah dijelaskan di atas patut kita teladani dan terapkan. Generasi kaum Muslim yang dapat dijadikan panutan dan dambaan umat masa depan adalah mereka menguasai iptek, kuat imtak, dan anti-kekerasan.

Pesiapan menyambut Ramadhan

Oleh : Achmad Suprapto

Bulan Sya’ban akan meninggalkan kita. Insya Allah, pada kamis depan, kita akan menyambut bulan Ramadhan yang penuh keberkahan. Maka dari itu marilah kita menilai, apakah persiapan kita untuk menghadapi bulan Ramadhan? Apakah persediaan kita untuk menyambut bulan puasa?
Allah s.w.t berfirman dalam surah Al-Baqarah, ayat 183:

يأيها الذين أمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa".

Dari ayat di atas, jelas untuk kita bahwa Allah s.w.t mensyariatkan puasa pada bulan Ramadhan, tujuannya adalah agar kita menjadi orang-orang yang bertaqwa. Maka perlu kita buat persediaan agar apabila tiba bulan Ramadhan, dan kita menunaikan kewajiban berpuasa, kita akan menjadi orang yang bertaqwa. Janganlah sekali-kali kita menyangka bahwa dengan berpuasa saja pada bulan Ramadhan, tanpa membuat persediaan, kita akan menjadi orang yang bertaqwa.

Apakah persiapan yang perlu kita lakukan untuk menghadapi bulan Ramadhan? Apakah persiadaan untuk menyambut kehadiran bulan yang penuh dengan keberkahan ini? Persiapan pertama adalah persiapan fisik. Ia perlu karena kita akan menggunakan tenaga kita untuk berpuasa sepanjang hari pada bulan Ramadhan. Perut kita tidak akan diisi pada siangnya. Dan kita akan menggunakan tenaga untuk mengerjakan sholat Terawih pada malamnya. Juga, selama sebulan lamanya, kita akan bangun sebelum Subuh untuk makan sahur. Perubahan-perubahan ini memerlukan persiapan fisik yang baik.

Berapa ramai dari kalangan kita yang merasa berat berpuasa pada awal-awal Ramadan. Tetapi hilang perasaan tersebut pada akhir-akhir Ramadan. Ini adalah kerana pada awal Ramadan tubuh badan kita masih lagi belum cukup bersedia untuk menghadapi perubahan yang dituntut untuk berpuasa. Manakala pada akhir Ramadan pula, tubuh badan kita sudah membuat penyesuaian fisik untuk ibadat puasa. Sehinggakan kita tidak merasa berat untuk berpuasa.

Maka, apakah persiapan fisik yang boleh kita lakukan? Pertama, latihkan diri memakan sarapan seawal mungkin. Beratkan sedikit sarapan tersebut. Ini sebagai persiapan untuk sahur kelak ketika Ramadhan. Kemudian, apabila tiba waktu makan siang hari, kurangi kawuntitas makanannya. Ambilah makan siang hari yang ringan. Ini agar membiasakan perut kita untuk menghadapi puasa kelak. Dan akhirnya, untuk makan malam, jangan makan terlalu berat atau terlalu banyak. Karena apabila kita berpuasa kelak, Islam menganjurkan agar kita berbuka puasa dengan makanan ringan. Ini agar dapat membantu kita melaksanakan ibadat pada waktu malam. Makanan yang berat bukan saja menyebabkan kita merasa malas untuk mengerjakan ibadat, malah juga akan membawa mudarat atau bahaya pada jasmani kita.

Kita juga boleh melatih diri kita dengan tidur lebih awal, dan bangun sebelum waktu Subuh. Waktu tidur perlu dijaga. Janganlah kita jadikan bulan Ramadhan kelak sebagai alasan untuk kita merasa lelah atau ngantuk pada siang harinya, lantaran tidak cukup tidur. Mereka yang tidak cukup tidur adalah bermula dari kekurangan mereka sendiri. Karena mereka tidak melatih diri mereka tidur lebih awal. Sedangkan mereka nanti perlu bangun lebih awal untuk makan sahur. Apabila seseorang itu tidur lewat, dan kemudian bangun lewat sehingga makan sahur, maka itulah yang menyebabkan seseorang itu merasa letih pada siang harinya. Karenab mereka berpuasa tanpa bekal makanan di perutnya. Rasulullah s.a.w bersabda:

تسحروا فإت في السحور بركة

Artinya: "Makan sahurlah, karena pada sahur itu ada keberkahan". (Hadith riwayat Bukhari)

Persiapan kedua yang perlu kita lakukan adalah persiapan mental. Ini termasuk menyematkan dalam diri kita keyakinan bahwa kita akan mampu berpuasa pada bulan Ramadhan dengan sukses. Bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang khusus untuk kita, umat Nabi Muhammad s.a.w. Bulan yang datang hanya setahun sekali saja. Maka kita tanamkan dalam diri kita kegembiraan menyambut bulan Ramadhan yang penuh rahmat ini.

Apabila kita sudah mengetahui persiapan fisik dan mental, dan kita berkomitmen untuk melaksanakannya, ketahuilah bahwa persiapan-persiapan tersebut tidak akan sukses tanpa seizin dan keberkahan dari Allah s.w.t. Maka, untuk menjadikan persiapan-persiapan fisik dan mental itu sukses dilaksanakan, kita perlu juga membuat persiapan ketiga. Iaitu persiapan rohani. Malah, inilah persiapan yang paling penting.

Persiapan rohani artinya, kita mensucikan jiwa kita dari segala kotoran. Dan menghiasinya dengan segala kebaikan. Orang yang menyambut kehadiran Aidilfitri akan membersihkan rumahnya. Dan menghiasinya dengan perhiasan. Sekiranya itu yang dilakukan untuk sesuatu benda di dunia ini, yang akan ditinggalkan apabila mati kelak, apatah lagi hati dan jiwa kita yang akan kekal bersama kita sehingga mati kelak? Tidakkah terlebih penting untuk kita membersihkan dan menghiasi hati kita untuk menyambut bulan Ramadhan?.

Membersihkan hati boleh dilakukan dengan melakukan taubat atas dosa-dosa yang lalu. Dan penghiasan hati boleh dilakukan dengan meningkatkan lagi kwalitas dan kuantiti ibadat kita. Semoga dengan demikian, Allah s.w.t akan membantu kita menjalani ibadat dalam bulan Ramadhan dengan lebih baik lagi dari tahun-tahun yang yang lalu. Dan semoga dengan demikian, kita akan mengakhiri bulan Ramadhan sebagai orang-orang yang bertaqwa, yang sukses dunia dan akhirat, amiin.

Friday, April 27, 2007

TIGA POTENSI MANUSIA

Oleh : Khoirurrijal

Allah s.w.t telah memuliakan manusia dari makhluk-Nya. Manusia dimuliakan Allah s.w.t dengan dilengkapi dengan tiga potensi yang urgen berupa hati, akal dan jasad.

Dengan hati, manusia dapat membedakan mana yang haq dan mana yang batil, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang indah dan mana yang buruk Jika hati manusia bersih, maka ia akan selalu menerima yang haq, menerima yang benar dan menerima yang indah, dan begitu pula sebaliknya.

Dengan akal, manusia dapat mencari ilmu pengetahuan, dapat menemukan dan menciptakan segala sesuatu. Akal yang sehat akan selalu melahirkan ilmu yang bermanfaat, dan menciptakan segala sesuatu yang mempunyai kemashlahatan bagi manusia lainnya, dan begitu pula sebaliknya.

Dengan jasad, manusia dapat beramal sholeh. Manusia yang sholeh selalu berusaha apa yang dilakukannya bisa mendatangkan manfaat, baik bagi dirinya, keluarganya, masyarakatnya, agamanya, nusa dan bangsanya.

Tiga potensi yang dianugerahkan Allah s.w.t tersebut hendaknya kita aktualisasikan dalam kehidupan kita di dunia ini sebagai wujud syukur kita kepada Allah s.w.t. Bukankah Allah s.w.t telah menciptakan manusia di muka bumi ini untuk beribadah kepada-Nya ? Nah, amal sholeh merupakan cerminan dari ibadah kita kepada Allah s.w.t.

Ibadah harus didasari dengan keikhlasan dalam pelaksanaannya. Orang yang ikhlas dalam beribadah akan beruntung. Allah SWT berfirman :

و ما أمروا إلاّ ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء - سورة البينة : 5

Padahal mereka tidaklah diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah SWT dengan penuh keikhlasan dalam (menjalankan) agama yang lurus…. (Q.S. Al-Bayyinah : 5)


Rasa ikhlas akan terasa berat bagi orang yang belum mendapatkan hidayah dari Allah s.w.t. Oleh karena itu kita selalu memohon kepada Allah s.w.t untuk selalu diberikan hidayah (petunjuk) kepada jalan yang lurus. Allah Hadi Ila Shirath al-Mustaqim.

اهدنا الصراط المستقيم. صراط الذين أنعمت عليهم غير المغضوب عليهم و لا الضالّين -سورة الفاتحة : 6-7

Tunjukilah kami ke jalan yang lurus,( yaitu) jalan orang-orag yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang Engkau murkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat
(Q.S. Al-Fatihah : 6-7)


Hidayah Allah s.w.t akan diberikan kepada hamba-Nya yang benar-benar pilihan. Hamba yang terpilih untuk mendapatkan hidayah Allah s.w.t adalah hamba yang beruntung. Siapakah orang-orang yang beruntung itu ? Allah s.w.t berfirman :

و العصر. إن الإنسان لفي خسر إلاّ الذين آمنوا و عملوا الصالحات و تواصوا بالحق و تواصو ا بالصبر - سورة العصر : 1-3

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal sholeh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran
(Q.S. Al-Asyr : 1-3).

Dari ayat tersebut jelaslah bahwa manusia yang beruntung itu adalah Pertama: Manusia yang beriman kepada Allah s.w.t. Nah, keimanan itu paling tidak harus diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dalam perbuatan. Orang yang beriman dan tidak mau beramal, maka keimanannya belum sempurna. Orang yang beriman hanya diyakini dalam hati saja, maka keimanannya belum sempurna. Orang yang beriman hanya diucapkan saja, maka keimanannya belum sempurna. Kedua: Orang-orang yang beramal sholeh. Amal sholeh adalah amal kebaikan. Orang yang selalu beramal sholeh, maka hidupnya akan mulia. Oleh karena itu hiasilah hidup ini dengan amal sholeh. Ketiga: Nasehat menasehati dalam kebenaran dan kesabaran. Nasehat itu sangat diperlukan. Seseorang itu tidak bisa terlepas dari nasehat. Dengan nasehat, seseorang bisa terselamatkan dari kesesatan dan kedholiman. Dan dengan nasehat pula seseorang bisa meningkat keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah s.w.t.

Pada dasarnya, semua orang menginginkan hidupnya beruntung. Untuk mendapatkan keberuntungan itu tentu melalui perjuangan yang tidak mudah sebagaimana membalikkan telapak tangan. Orang yang beruntung harus mau berkorban. Pengorbanan itu memerlukan latihan.

Pengurbanan itu banyak macam dan ragamnya; pengorbanan dalam bentuk waktu, pengorbanan dalam bentuk tenaga, pengorbanan dalam bentuk harta dan bahkan pengorbanan dalam bentuk jiwapun diperlukan untuk menegakkan kalimatullah al-haq.

Kita sadari, bahwa manusia hidup di dunia ini hanyalah sementara. Maka janganlah kita terpedaya dengan kehidupan dunia yang penuh dengan macam ragamnya. Maka janganlah kita salah dalam memilih macam ragam kehidupan dunia. Kita harus menentukan, mana yang baik, mana yang haq itulah yang harus kita dekati dan kita ambil. Dan mana yang jelek, mana yang batil itulah yang harus kita jauhi dan kita tinggalkan.

Kita jadikan kehidupan di dunia yang sementara ini untuk mencapai kehidupan akherat yang kekal abadi. Seorang yang beriman, tentunya akan berfikir panjang, karena ia tahu bahwa nanti ia akan berjumpa dengan kehidupan akherat. Ia selalu berhati-hati dalam berbuat, berucap dan bertingkah laku di dunia ini. Karena semuanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah s.w.t dalam kehidupan akherat nanti.

Orang yang beriman, akan berbeda dengan orang yang tidak beriman. Perbedaannya yang nampak jelas adalah orang yang beriman itu memiliki orientasi yang jauh yaitu akherat, sedangkan orang yang tidak beriman orientasinya hanyalah dunia saja dan mengesampingkan kehidupan akherat. Ia lebih banyak mengejar materi saja, dan melupakan rohaninya. Padahal, kebahagiaan itu meliputi kebahagiaan dunia dan akherat, kebahagiaan jasmani dan rohani. Orang yang hanya mementingkan kebahagiaan dunia saja, maka kebahagiaannya tidak seimbang. Orang yang hanya mementingkan materi saja, maka kehidupannya tidak seimbang. Seharusnya kebahagiaan dunia akherat dan kebahagiaan jasmani rohani harus ada dalam diri seseorang yang mencari kebahagiaan yang hakiki.

Allah s.w.t menciptakan kehidupan dunia ini adalah sebagai ujian bagi manusia untuk menentukan siapa yang paling baik amalnya dan siapa yang bisa menjaga ketiga potensi yang diamanatkan Allah s.w.t berupa hati, akal dan jasad. Bagi orang-orang yang bisa menjaga amanat yang Allah s.w.t berikan, maka ia akan menjadi mulia di sisi Allah s.w.t, dan begitu pula sebaliknya. Wallahu A’lam.

Friday, April 20, 2007

Islam Dan Emansipasi

Oleh : Mukhlas Al Bastamy
"Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar".

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas ra bahwa ayat ini turun berkenaan dengan pertanyaan para wanita: “Mengapa dalam Al-Qur’an disebutkan para laki-laki sementara para wanita tidak?” Maka turunlah ayat ini.

Jauh Sebelum mempoklamirkan emansipasi wanita, Islam telah lebih dahulu mengangkat derajad wanita dari masa pencampakan wanita di era jahiliah ke masa kemulaian wanita. Dari ayat di atas kita bisa melihat betapa Islam tidak membedakan antara wanita dan laki-laki. Semua sama di hadapan Allah.swt, dan yang membedakan mereka di hadapan Allah adalah mereka yang paling bertaqwa, taqwa dalam artian menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangnnya.

Sering kita dengar pemahaman emansipasi wanita yang selalu digembar-gemborkan orang-orang barat yang mengatasnamakan hak asasi manusia, bahwa emansipasi wanita adalah menyamakan hak dengan kaum pria, padahal tidak semua hak wanita harus disamakan dengan pria, karena Allah.Swt telah menciptakan masing-masing jenis kelamin dengan latar belakang biologis kodrati yang tidak sama. Persamaan hak untuk dilindungi oleh hukum, mendaptkan gaji yang setara dengan laki laki jika berada di kedudukan atau kemampuan yang sama, dan lain sebagainya adalah segelintir contoh dibolehkannya persamaan hak dengan kaum pria.

Makna emansipasi wanita yang benar, adalah perjuangan kaum wanita demi memperoleh hak memilih dan menentukan nasib sendiri. Sampai kini, mayoritas wanita Indonesia, terutama di daerah pedesaan dan sektor informal belum menyadari makna dari emansipasi wanita itu sendiri, akibat normatif terbelenggu persepsi etika, moral, dan hukum genderisme lingkungan sosio-kultural menjadi serba keliru. Belenggu budaya itulah yang harus didobrak gerakan perjuangan emansipasi wanita demi memperoleh hak asasi untuk memilih dan menentukan nasib sendiri.

Perjuangan R.A. kartini dan R.Dewi Sartika dalam medobrak keterbelengguan peribumi oleh penjajah merupakan pergerakan yang spektakuler bagi wanita Indonesia saat itu. Sebuah perang dengan cara moderat tanpa adu kekuatan fisik, akan tapi adu otak, adu harga diri. Tak berselang lama kebangkitan harga diri pribumi mulai naik hingga kita sebut sebagai jaman Kebangkitan Nasional, tidak hanya bangkit meruncingkan bambu, tapi juga meruncingkan pikiran, mengasah otak melalui kata-kata, baik di forum diskusi maupun di media cetak.

Di hari Kartini ini, mari kita meneropong kebelakang melihat kembali wanita-wanita yang berjaya pada awal-awal berdirinya Islam, mereka adalah Aisyah binti Abu Bakar(wafat 58 H), Hafsah binti Umar (wafat 45 H), Juwairiah binti Harits bin Abu Dhirar (wafat 56 H), Khadijah binti Khuwailid (wafat 3 SH), Maimunah binti Harits (wafat 50 H/670 M), Ummu Salamah (wafat 57 H/676 M), Zainab binti Jahsy (wafat 20 H), Fatimah binti Muhammad (wafat 11 H), Ummi Kultsum binti Muhammad (wafat 9 H/639 M), Zainab binti Muhammad (wafat 8 H.) dan lain sebagainya. Merekalah yang telah memberikan suri tauladan yang sangat mulia untuk keberlangsungan emansipasi wanita, bukan saja hak yang mereka minta akan tetapi kewajiban sebagai seorang wanita, istri,anak atau sahabat mereka ukir dengan begitu mulianya. Seperti telah disinggung di atas, dalam pandangan Islam wanita yang baik adalah wanita yang seoptimal mungkin menurut konsep al-qur’an dan assunnah. Ialah wanita yang mampu menyelaraskan fungsi, hak dan kewajibannya:
- Seorang hamba Allah ( At-Taubah 71 )
- Seorang istri ( An-Nisa 34)
- Seorang ibu ( Al-Baqoroh 233 )
- Warga masyarakat (Al-furqan 33)
- Da’iyah ( Ali Imran104 -110)

Islam juga telah mengabadikan nama wanita yang dalam bahasa Arab An-nisa (النساء) ke dalam salah satu surat dalam Al-quran, dan islam juga tidak melarang wanita untuk berperang atau berjihad di jalan Allah.Swt melawan orang-orang kafir, dalam hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat wanita terkemuka Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra berkata :
“Kami pernah bersama nabi SAW dalam peperangan, kami bertugas memberi minum para prajurit, melayani mereka, mengobati yang terluka, dan mengantarkan yang terluka kembali ke Madinah.” Ummu Haram ra, yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra , dimana ia berkata:
“Nabi SAW bersabda : “Sejumlah orang dari ummatku menawarkan dirinya sebagai pasukan mujahid fi sabiliLLAH. Mereka mengarungi permukaan lautan bagaikan raja-raja di atas singgasananya.” Lalu tiba-tiba Ummu Haram ra berkata: “Ya RasuluLLAH, doakan saya termasuk diantara mereka itu.” Lalu Nabi SAW mendoakannya…”

Sesungguhnya Maha Benar Allah yang dengan tegas bersabda dalam Al- Qur’an bahwa musuh-musuh Islam akan selalu berupaya dengan berbagai cara agar kita mengikuti millah (sistem hidup) mereka, hingga mereka ridha (QS Al-Baqarah: 120), dan mereka akan selalu memerangi Islam dan segala yang berbau Islam, kalau dapat memurtadkan kita dari Islam (Al-Baqoroh 217 dan Alburuuj 8). Sungguh Maha Benar Allah.

Sesungguhnya fenomena muslimah hari ini (kebanyakan telah menyimpang jauh dari Allah dan RasuINya), dan kehilangan jati dirinya sebagai muslimah adalah hasil dari rekayasa mereka yang menghendaki ajaran Islam itu kabur, sulit difahami dan terkesan kolot (terbelakang) serta menghambat kemajuan.

Untuk mendukung semua itu merekapun merekayasa, para ‘cendekiawan muslim’ yang lemah iman untuk mendukung program mereka dan menimbulkan keraguraguan ummat.

Para wanita yang dalam Islam sangat dihormati dan dimuliakan digugat. Aturan-aturan Islam yang tinggi dan sempurna dituding sebagai biang keladi ‘terbelakangnya’ para wanita Islam. Musuh-musuh Allah yang lantang meneriakkan isu hak asasi, kebebasan, modernisasi, dan persamaan inipun menyerang masalah poligami,hak menthalaq, hak warisan, masalah hijab, dan sebagainya sebagai hal-hal yang melemahkan Islam. Islam dikatakan telah merendahkan harkat dan martabat wanita, sedang Barat lah yang mengangkat dan memuliakannya.

Mari kita bandingkan dunia Islam dan dunia Barat, pada satu sisi mereka maju di bidang duniawi yang pernah dimiliki kejayaan islam, tapi kita lihat hubungan – hubungan sosial mereka ( hubungan antara masyarakat, suami dan istri orang tua dan anak dan lain sebaginya ) Islam lebih gemilang dengan hal-hal itu.

Pada akhirnya kita sebagai wanita mulimah untuk selalu menyiapkan dan meningkatkan kualitas keislaman kita, agar kita tidak terpengaruh dengan slogan- slogan barat yang akan menghancurkan pilar-pilar Islam dan menyilaukan mata kita.
Selamat hari Kartini semoga wanita Indonesia bisa lebih meningkatkan khazanah keislamannya dan menghasilkan karya-karya besar untuk kemajuan Indonesia dan Islam pada umumnya.

Friday, April 13, 2007

Maulid Nabi dan Semangat Perjuangan

Oleh : Med Hatta


SEBAGAI pembuka wacana, ada baiknya kita kutip amanat Presiden Soekarno pada peringatan maulid Nabi Muhammad saw. di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, tanggal 6 Agustus 1963 (Penerbitan Sekretariat Negara No. 618/1963).

"Sore-sore saya dibawa oleh Presiden Suriah Sukri al-Kuwatly ke makam Salahuddin. Lantas Presiden Kuwatly bertanya kepada saya, apakah Presiden Soekarno mengetahui siapa yang dimakamkan di sini? Saya berkata, saya tahu, of course I know. This is Salahuddin, the great warrior, kataku. Presiden Kuwatly berkata, tetapi ada satu jasa Salahuddin yang barangkali Presiden Soekarno belum mengetahui. What is that, saya bertanya. Jawab Presiden Kuwatly, Salahuddin inilah yang mengobarkan api semangat Islam, api perjuangan Islam dengan cara memerintahkan kepada umat Islam supaya tiap tahun diadakan perayaan maulid nabi.

Jadi sejak Salahuddin tiap-tiap tahun umat Islam memperingati lahirnya, dan dikatakan oleh Pak Mulyadi tadi, juga wafatnya Nabi Muhammad saw. peringatan maulid nabi ini oleh Salahuddin dipergunakan untuk membangkitkan semangat Islam, sebab pada waktu itu umat Islam sedang berjuang mempertahankan diri terhadap serangan-serangan dari luar pada Perang Salib. Sebagai strateeg besar, saudara-saudara, bahkan sebagai massapsycholoog besar, artinya orang yang mengetahui ilmu jiwa dari rakyat jelata, Salahuddin memerintahkan tiap tahun peringatilah maulid nabi.

Sebagaimana dijelaskan dalam amanat Bung Karno di atas, peringatan maulid nabi untuk pertama kalinya dilaksanakan atas prakarsa Sultan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (memerintah tahun 1174-1193 Masehi atau 570-590 Hijriah) dari Dinasti Bani Ayyub, yang dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama "Saladin". Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia.

Pada masa itu dunia Islam sedang mendapat serangan-serangan gelombang demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, Inggris). Inilah yang dikenal dengan Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid al-Aqsa menjadi gereja! Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah), sebab secara politis terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan, meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas di Bagdad, sebagai lambang persatuan spiritual.

Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada nabi mereka. Dia mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad saw., 12 Rabiul Awal, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini dirayakan secara massal. Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi, yang menjadi atabeg (semacam bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.

Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Akan tetapi Salahuddin menegaskan bahwa perayaan maulid nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang. Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Bagdad, ternyata khalifah setuju. Maka pada ibadah haji bulan Zulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul-Awwal dirayakan sebagai hari maulid nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.

Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan maulid nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 Hijriah) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan maulid nabi.

Ternyata peringatan maulid nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjid al-Aqsa menjadi masjid kembali sampai hari ini.

Jika kita membuka lembaran sejarah penyebaran Islam di Pulau Jawa, perayaan maulid nabi dimanfaatkan oleh para Wali Songo untuk sarana dakwah dengan berbagai kegiatan yang menarik masyarakat agar mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) sebagai pertanda memeluk Islam. Itulah sebabnya perayaan maulid nabi disebut Perayaan Syahadatain, yang oleh lidah Jawa diucapkan Sekaten.

Dua kalimat syahadat itu dilambangkan dengan dua buah gamelan ciptaan Sunan Kalijaga, Kiai Nogowilogo dan Kiai Gunturmadu, yang ditabuh di halaman Masjid Demak pada waktu perayaan maulid nabi. Sebelum menabuh dua gamelan tersebut, orang-orang yang baru masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat terlebih dulu memasuki pintu gerbang "pengampunan" yang disebut gapura (dari bahasa Arab ghafura, "Dia mengampuni").

Pada zaman kesultanan Mataram, perayaan maulid nabi disebut Gerebeg Mulud. Kata gerebeg artinya "mengikuti", yaitu mengikuti sultan dan para pembesar keluar dari keraton menuju masjid untuk mengikuti perayaan maulid nabi, lengkap dengan sarana upacara, seperti nasi gunungan dan sebagainya. Di samping Gerebeg Mulud, ada juga perayaan Gerebeg Poso (menyambut Idulfitri) dan Gerebeg Besar (menyambut Iduladha).

Keunikan suku Quraisy

Hal yang menarik untuk kita kaji adalah mengapa nabi dan rasul terakhir bagi umat manusia dibangkitkan Allah dari kalangan suku Quraisy di Semenanjung Arabia? Jawaban atas pertanyaan ini diberikan oleh Allah sendiri dalam Alquran Surat Quraisy ayat pertama dan kedua yang berbunyi, "Karena tradisi suku Quraisy. Tradisi mereka mengembara di musim dingin dan di musim panas".

Kota suci Mekah pada mulanya bernama Baka atau Bakkah, sebagaimana tercantum dalam Ali Imran 96. Dalam bahasa Arab, kata baka mempunyai dua arti, "berderai air mata" dan "pohon balsam". Arti yang pertama berhubungan dengan gersangnya daerah itu sehingga seakan-akan tidak memberikan harapan, dan arti yang kedua berhubungan dengan banyaknya pohon balsam (genus commiphora) yang tumbuh di sana. Oleh karena huruf mim dan ba sama-sama huruf bilabial (bibir), nama Bakkah lama-kelamaan berubah menjadi Makkah.

Karena kota Mekah sangat gersang, orang-orang Quraisy penghuni kota itu tidak mungkin hidup dari sektor agraris (pertanian), melainkan harus mengembangkan sektor bisnis (perdagangan). Dibandingkan suku-suku lain di Semenanjung Arabia, suku Quraisy memiliki watak istimewa, tahan segala cuaca! Mereka memiliki tradisi (ilaf) gemar mengembara baik di musim dingin maupun di musim panas untuk berniaga.

Pada mulanya sebagian besar suku Quraisy memusuhi Islam sehingga Nabi Muhammad saw. dan para pengikut beliau harus meninggalkan kampung halaman berhijrah ke Madinah. Akan tetapi akhirnya seluruh orang Quraisy memeluk agama Islam, terutama setelah Rasulullah menguasai Mekah. Tradisi gemar mengembara dari suku Quraisy merupakan salah satu faktor yang ikut mempercepat penyebaran agama Islam. Hanya satu abad sesudah nabi wafat, pada pertengahan abad ke-8 kekuasaan Islam membentang dari Spanyol sampai Xinjiang.

Rupanya sudah menjadi sunnatullah (hukum Ilahi) bahwa suatu ide atau ajaran akan cepat berkembang luas apabila disebarkan oleh orang-orang yang gemar mengembara. Dalam sejarah tanah air kita, organisasi Muhammadiyah memiliki pengalaman serupa. Pada zaman pendirinya, K.H. Ahmad Dahlan, organisasi dakwah yang lahir di Yogyakarta ini baru tersebar di Pulau Jawa. Muhammadiyah segera berkembang cepat ke seluruh Nusantara setelah disebarkan oleh dua suku pengembara, orang-orang Minangkabau dan orang-orang Bugis.

Gersangnya daerah Mekah membawa hikmah lain, dua kekuatan adikuasa pada zaman Nabi Muhammad saw., yaitu Romawi dan Persia, tidak berminat untuk menguasai Mekah. Demikian pula ketika pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 kolonial Inggris dan Prancis berbagi kekuasaan di Timur Tengah, daerah Mekah sama sekali tidaklah mereka jamah. Dari zaman nabi sampai sekarang, Kakbah (Rumah Allah) tidak pernah berada di bawah dominasi kekuasaan kelompok non-Muslim.

Ketika Nabi Ibrahim a.s. dan putera beliau Nabi Ismail a.s. mendirikan Rumah Allah, yaitu Kakbah sekarang, Nabi Ibrahim a.s. berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini aman sentosa, dan anugerahkanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari akhirat." (Surat Al-Baqarah 126). Doa Nabi Ibrahim a.s. tersebut dikabulkan oleh Allah secara kontinu sampai hari ini! Meskipun tanah Mekah gersang dan tidak memproduksi buah-buahan, para jemaah haji dapat menyaksikan sendiri bahwa buah-buahan apa pun jenisnya dapat kita jumpai di Mekah, mulai dari anggur Prancis sampai pisang Ekuador.

Air pun kini berlimpah di Mekah. Di samping sumber telaga Zamzam yang tidak pernah kering, pemerintah Arab Saudi menggunakan teknologi modern dalam menyediakan air bersih dari hasil penyulingan (destilasi) air laut. Dengan teknologi tinggi yang disebut flash distillation, tekanan diturunkan sedemikian rupa sehingga air laut mendidih pada suhu 50 derajat Celsius, lalu uap air yang sudah terpisah dari garam-garam dilewatkan melalui alat pengembun (kondensor) supaya cair kembali. Proses ini cukup murah sebab hemat energi. Di Jeddah pabrik penyulingan air laut semacam ini memproduksi 50 juta liter air bersih per hari, dan sebagian besar disalurkan ke Kota Mekah untuk keperluan para jemaah haji.

Sebagai penutup uraian, ada tiga kesimpulan yang patut kita petik. Pertama, perayaan maulid nabi kita selenggarakan untuk meningkatkan semangat juang dan sebagai alat dakwah. Kedua, Nabi dan rasul terakhir Muhammad saw. sengaja dibangkitkan Allah dari kota Mekah yang gersang, yang penduduknya bersifat gemar mengembara, untuk efektivitas penyebaran agama Allah. Ketiga, Allah senantiasa menganugerahi Mekah bahan makanan dan air yang berlimpah, serta melindungi kota suci itu dari dominasi kekuasaan kelompok lain. Mahabenar Allah dengan segala firman-Nya.

Thursday, March 29, 2007

Meneladani Insan Pilihan

Oleh :Husnul Amal Mas’ud

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Alu Imran : 164)

Sebuah Kelahiran Yang Agung

Para penulis sirah (biografi) Nabi SAW pada umumnya sepakat bahwa Nabi Muhammad SAW lahir di Tahun Gajah 570 M. Hampir semua ahli hadits dan sejarawan sepakat bahwa Nabi SAW lahir di bulan Rabiul Awal, kendati mereka berbeda pendapat tentang tanggalnya. Dan dalam akidah Ahlussunnah dipercayai bahwa beliau lahir pada hari Senin 12 Rabiul Awal (2 Agustus 570 M)

Tanda-tanda yang mengiri saat kelahiran seseorang, seringkali menjadi bukti akan keagungan orang yang dilahirkannya. Para ahli sejarah mengabadikan dua peristiwa penting yang terjadi pada saat kelahiran Nabi SAW :

  1. Saat Muhammad lahir singgasana Raja Kisra sebagai raja terbesar saat itu digoncang oleh gempa dan sebagian bangunan istananya runtuh.
  2. Api besar yang konon telah menyala lebih dari 1000 tahun dan selalu disembah dan dijadikan tuhan oleh bangsa persia saat itu padam seketika.

Peristiwa besar pun terjadi di angkasa; langit bergoncang menyambut kelahirannya, setan-setan dilempari oleh panah api dan batu panas agar mereka tidak lagi dapat mencuri dengar wahyu yang diturunkan Allah dari atas langit sejak saat itu sebagaimana pernah terjadi pada masa sebelumnya. Fenomena kejadian di luar angkasa dalam menyambut kelahiran manusia agung ini disaksikan sendiri oleh para Jin yang diungkapkan dalam Alquran dan diabadikan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:

وَأَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَساً شَدِيداً وَشُهُباً، وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَاباً رَصَداً

“Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjaganyang kuat dan panah-panah api. Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barangsiapa yang mencoba mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai untuk membakarnya” (QS. Al Jin: 8-9)

Dengan kelahiran Nabi yang mulia ini pula, pintu-pintu surga ditutup dan tidak akan masuk ke dalamnya kecuali orang-orang yang mengikuti petunjuk dan syariatnya.

والذي نفسي محمد بيده! لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني ، ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به ، إلا كان من أصحاب النار

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam kekuasaanNya, tidak ada seseorangpun yang beragama Yahudi dan Nasrani yang telah mendengar seruanku, lalu dia mati dan tidak beriman terhadap apa yang aku bawa, kecuali dia itu adalah termasuk dari penghuni neraka.”

Dimensi kehidupan Nabi SAW.

Nabi adalah manusia yang paling mulia akhlaknya. Kemuliaan Nabi tersirat dari seluruh dimensi perjalanan hidupnya. Sehingga bilamana Aisyah ra. ditanya seorang badui tentang akhlak Nabi SAW, beliau tidak dapat menggambarkannya, hanya jawaban kecil penuh makna yang diungkapkan Aisyah :

كان خلقه القرآن

“Akhlak Nabi adalah Al-Quran”.

Dimensi ibadah (Solat, Puasa dan Jihad).

Dalam sebuah hadis diriwayatkan bahwa kaki Nabi SAW sampai pecah karena begitu lamanya beliau berdiri dalam setiap solatnya. Beberapa riwayat menceritakan bahwa surat yang sering dibaca dalam solatnya ketika sendiri adalah Al-Baqarah An-Nisa dan Alu Imran. Dan apabila ditanya oleh sahabat bagaimana sampai Rasul menyakiti dirinya dengan solat yang panjang itu sampai kakinya pecah, beliau hanya menjawab :

أفلا أكون عبدا شكورا؟

Apakah aku tidak ingin menjadi hamba yang senantiasa bersyukur?”

Nabi juga seringkali melaksanakan puasa berhari-hari dan berturut-turut sehingga suatu saat sahabat menyaksikannya dan meminta untuk dapat mengikuti sunnahnya. Namun beliau menjawab dengan lembut dan bijaksana :

إني لست مثلكم، إني أبيت عند ربي يطعمني ويسقيني

“Sesungguhnya aku bukanlah seperti kalian. Sesungguhnya aku sedang singgah bersama Tuhanku yang senantiasa akan selalu memberiku makan dan minum.”

Beliau adalah panutan seorang pemimpin dan panglima perang. Selalu berada di barisan terdepan menghadapi kaum musyrikin dalam setiap pertempuran. Keberanian beliau dalam setiap peperangan digambarkan oleh sahabat Ali ra :

“Apabila kami telah dihampiri kecemasan ketika bertemu antara kaum (muslimin) dengan kaum (musyrikin), kami berlindung dibelakang Rasulullah SAW sehingga tidak ada seorangpun yang posisinya lebih dekat dengan musuh kecuali beliau.”

Dimensi Zuhud

Suatu hari Umar ra. Memasuki rumah Nabi dan ia tidak menemukan atau melihat ada sesuatu pun di dalam rumah Nabi kecuali tikar tempat tidur Nabi. Maka Umar Menangis sambil berkata : “Wahai Rasulullah, lihatlah Raja Kisra dan Caesar yang berlimpahan segala macam kenikmatan, sedangkan engkau lebih dari mereka, kau adalah utusan Allah, sementara kondisi kehidupanmu seperti ini adanya? Nabi menjawab : Apakah engkau ragu denganku wahai (Umar) Ibn Khattab? Apakah kau tidak ridho jika mereka mendapatkan apa yang ada di dunia sedangkan kita mendapatkan segala nikmat diakhirat?!.”

Dan Hasan Al-Basri menceritakan bagaimana kondisi di dalam rumah Nabi yang sangat sederhana:

“Aku memasuki kamar Nabi SAW. Dan seandainya aku ingin menyentuh atap rumahnya, aku pasti akan dapat menyentuhnya.”

Nabi pun seringkali berpuasa hanya karena tidak mendapatkan apa yang dia makan untuknya dan untuk keluarganya. Aisyah menceritakan kepada keponakannya Urwah bin Zubair perihal ini:

“Adalah Nabi telah melewati 3 hilal (2 bulan) dan beliau tidak mendapatkan dapurnya menyala (karena tidak ada makanan). Kemudian Urwah bertanya : Lalu apa yang kalian makan wahai bibiku? Aisyah menjawab : kurma dan air.

Nabi SAW. Pun tidak meninggalkan harta benda warisan untuk keluarganya ketika beliau wafat. Karena segala yang beliau punya diberikan untuk orang yang meminta dan membutuhkan. Dan hanya ungkapan mulia yang diucapkannya :

نحن معاشر الأنبياء لا نورث ما تركناه صدقة

“Kami para Nabi tidaklah mewariskan. Segala apa yang kami tinggalkan adalah sadaqah”

Dimensi Akhlak

Firman Allah adalah saksi dari betapa mulianya Akhlak Nabi SAW. Sehingga sahabat umar pun menangis tidak dapat melukiskan indahnya Akhlak Nabi yang dilukiskan Allah SWT dalam firmannya :

وإنك لعلى خلق عظيم

“Dan sesunguhnya kamu benar-benar berbudi perkerti yang agung” (QS. Al Qalam : 4)

Beliau adalah contoh dalam kedermawanan, selalu menutupi kebutuhan para fakir miskin dan selalu memberi tanpa pamrih. Sampai-sampai kedermawanan beliau disaksikan sendiri oleh musuh-musuhnya hingga musuh tersebut memeluk islam.

Adalah Safwan bin Umayyah, seorang pembesar Quraisy yang sangat benci kepada islam, menceritakan kisah kedermawanan Nabi saat dia menjadi tawanan dalam perang Hunain :

“Nabi senantiasa memberiku (makan&minum) sewaktu perang Hunain. Dan sungguh beliau adalah manusia yang paling ku benci saat itu, namun ia tetap memberiku hingga hatiku luluh dan akhirnya beliau menjadi manusia yang paling aku cintai.”

Kesabaran beliau pun menjadi teladan bagi umat islam. Sejarah mengisahkan, ketika beliau meminta perlindungan kepada kaum Thaif dan kemudian dilempari oleh bebatuan oleh penduduknya hingga berdarah, Jibril kemudian mendatanginya mendatangi Nabi dan berkata : Apakah kau ingin aku azab mereka dengan membalikkan seluruh isi kampung tersebut. Nabi malah menjawab tawaran Jibril tersebut dengan menengadahkan tangan sambil berdoa : "Semoga Allah SWT melahirkan dari keturunan mereka orang-orang yang akan beriman dan menyembah kepada-Nya".

Keagungan akhlak Nabi pun tersirat dari sikap tawadunya. Beliau selalu berpesan kepada umatnya agar jangan berlebihan dalam memujinya :

لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم، إنما أنا عبد فقولوا عبد الله ورسوله

“Janganlah kalian memujiku sebagaimana kaum Nasrani memuji (Isa) Ibn Maryam. Aku hanyalah seorang hamba, maka cukup panggillah aku dengan Abdullah (hamba Allah) dan Rasul (utusan) Nya.”

Dimensi berkeluarga

Nabi Muhammad pernah membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. Ia terkejut bukan kepalang melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, "Mengapa engkau tidur di sini?" Nabi Muhammmad menjawab, "Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu."

Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Padahal Nabi selalu mengingatkan, "berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya."

Puncak Suri Teladan

Bagaimanapun kita memuji dan menggambarkan kehidupan Nabi, rasanya tidak cukup segala kata-kata dan pujian untuk menyatakan betapa mulia dan tingginya pribadi dan akhlak Nabi SAW. Tulisan singkat ini pun rasanya hanya setetes gambaran dari lautan pribadi agung Nabi SAW. Sungguh seluruh dimensi kehidupan Nabi adalah panutan dan suri tauladan bagi kita sebagai umat islam.

لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS. Al Ahzab : 21)

Semoga momen peringatan Kelahiran (Maulid) Nabi tahun ini dapat kita jadikan ajang untuk benar-benar meningkatkan cinta kita kepada Nabi SAW sebagai bukti keimanan kita kepada Nabi SAW.

لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده

“Tidaklah termasuk orang beriman seorang di antara kamu sehingga aku menjadi orang yang lebih dicintainya daripada orangtuanya dan anaknya”

Friday, March 23, 2007

Meneladani Rasulullah s.a.w

Oleh: Nasrullah Djasam

Gemuruh sholawat di depan makam Rasulullah s.a.w. bersahutan yang dikumandangkan oleh para jamaah haji dari pelosok dunia, ada sholawat yang berdialek India, Pakistan, Turki dan tentu saja ada yang bedialek Melayu yang keluar dari mulut jamaah haji Indonesia, Malaysia, Thailand dan Negara Asia Tenggara lainnya. Ada yang melambai-lambaikan tangannya sambil mengucapkan salam kepada Rasulullah s.a.w, rasanya begitu dekat hati mereka dengan Rasulullah s.a.w seolah Rasulullah s.a.w ada dihadapan mereka untuk menyambut sambil tersenyum.

Kecintaan yang luar biasa terhadap sosok Rasulullah s.a.w membuat mereka tidak lagi memperdulikan betapa besar usaha dan tenaga yang mereka keluarkan untuk sekadar berdiri sesaat dihadapan makam beliau shallalahu alaihiwasalam, Segala kelatihan, kepayahan dan tempat yang terbatas seolah sirna. penjagaan ketat para askar makam Rasulullah s.a.w bukan penghalang untuk memberikan penghormatan kepada sang uswah hasanah (teladan baik), yang menyelamatkan ummat manusia dari jurang kehancuran, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Seraya berkata assalamu alaika ya rasulullah, assalamu alaika ya habiballah.

Muhammad s.a.w bukanlah sosok yang asing dimata ummat Islam, Al qur'an secara jelas mengatakan bahwa beliau adalah suri tauladan bagi ummat manusia (لقد كان لكم في رسول لله أسوة حسنة), Al qur'an menjelaskan bahwa beliau adalah sosok yang berakhlak luhur (وإنك لعلى خلق عظيم ), seluruh nilai nilai yang ada dalam Al qur'an tercermin dalam prilaku beliau sehari hari (كان رسول اله صلى الله وسلم قرآنا يمشي على الأرض).

Beliau adalah sosok pemimpim yang sangat humanis, menghargai sesama, tegas, adil, berpihak kepada yang lemah, menegakkan supremasi hukum. Beliau bukan type pemimpin arogan yang menggunakan kekuasaannya dengan sewenang-wenang, beliau bukan pemimpin egois yang memikirkan kesejahteraan diri dan keluarganya sementara rakyat hidup penuh keprihatinan di tenda-tenda pengungsian dengan sarana yang jauh dari layak akibat bencana alam dan luapan lumpus panas LAPINDO. Tidak ada harta berbentuk materi yang beliau wariskan kepada keturunannya, bahkan sebagai seorang rasul beliau telah menegaskan :

نحن الأنبياء لا نورث ما تركنا

Kami para nabi tidak mewariskan apa yang kami tinggalkan

Yang beliau wariskan kepada keluarga, sahabat dan pengikutnya hanyalah nilai-nilai luhur yang bisa menyelamatkan ummat manusia di dunia dan di akhirat.

Tidak diragukan lagi bahwa membaca sholawat kepada Rasulullah s.a.w dengan penuh khidmat mengandung nilai ibadah yang sangat tinggi, banyak riwayat yang menyatakan betapa besar pahala bagi orang yang membaca sholawat kepada Rasulullah s.a.w. Akan tetapi sungguh sayang jika kecintaan kita kepada Rasulullah s.a.w hanya diekspresikan dengan membaca sholawat. Yang beliau inginkan tentu bukan hanya itu, beliau ingin agar kecintaan kita terhadapnya dibuktikan dengan meneladani akhlak beliau, dengan begitu kecintaan kita tidak hanya kecintaan kulit akan tetapi sudah menyentuh substansi dan itulah bentuk kecintaan yang hakiki.

Kita yakin jika seluruh jamaah haji Indonesia yang datang berziarah kemakam Rasulullah s.a.w. mengekspresikan cintanya kepada Rasulullah s.a.w dengan mengamalkan nilai-nilai luhur yang diwariskan beliau Sallalahualaihiwassalam. Pasti akan membawa perubahan yang signifikan ke arah yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengingat jamaah haji Indonesia merupakan jamaah haji yang paling banyak jumlahnya setiap tahun. Bukankah setiap amal ibadah yang dilakukan seorang muslim bertujuan untuk memperbaiki diri, jika masing masing individu sudah baik akan terbentuk komunitas yang juga baik.

Madinah, 18 Desember 2007.